Jumat, 3 Oktober 2025

Pemerintah Indonesia Diminta Tegas Tanggapi Klaim Tiongkok Atas Kepulauan Natuna

Pemerintah Tiongkok pun mendukung tindakan para nelayannya dengan mengistilahkan daerah yang dimasuki sebagai Traditional Fishing Ground.

Tribun Batam/Elizagusmeri
Salah satu sudut dari Pulau Natuna. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mendorong pemerintah Indonesia harus lebih tegas terhadap pemerintah Republik Rakyat Tiongkok terkait insiden Natuna.

Apalagi, kata Hikmahanto, Presiden Joko Widodo saat kunjungannya ke Jepang bulan Maret tahun lalu menyatakan klaim Tiongkok atas Sembilan Garis Putus tidak memiliki basis dalam hukum internasional.

"Oleh karenanya dalam kebijakan luar negeri Indonesia harus dinyatakan secara tegas tidak diakuinya klaim Tiongkok atas Sembilan Garis Putus. Indonesia juga berharap agar dalam putusan Arbitrase Filipina melawan Tiongkok, Sembilan Garis Putus dinyatakan tidak sah berdasarkan UNCLOS," tegas Hikmahanto kepada Tribun, Kamis (23/6/2016).

Dari sejumlah insiden yang terjadi dan terakhir yang dikejar oleh KRI Imam Bonjol, para nelayan asal Tiongkok memasuki wilayah ZEEI bukannya secara tidak sengaja. Bagi para nelayan tersebut sebagian ZEEI dianggap sebagai wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan.

Pemerintah Tiongkok pun mendukung tindakan para nelayannya dengan mengistilahkan daerah yang dimasuki sebagai Traditional Fishing Ground.

Dalam setiap protes pemerintah Tiongkok atas tiga insiden selalu disampaikan bahwa para nelayan asal Tiongkok memiliki hak melakukan penangkapan ikan atas dasar konsep Traditional Fishing Ground.

Dia menjelaskan Traditional Fishing Ground inilah yang menjadi dasar bagi Tiongkok untuk melakukan klaim atas Sembilan Garis Putus atau Nine Dash Line.

Sebaliknya posisi pemerintah Tiongkok memposisikan diri untuk menafikan ZEE Indonesia di wilayah yang diklaim sebagai Traditional Fishing Ground.

Untuk itu , penangkapan kapal-kapal nelayan Tiongkok di ZEEI oleh kapal otoritas, termasuk KKP dan TNI-AL, disamping untuk penegakan hukum juga ditujukan untuk penegakan hak berdaulat.

Sementara protes oleh Kementerian Luar Negeri pada setiap penangkapan kapal nelayan asal Tiongkok adalah dalam rangka Indonesia tidak mengakui Sembilan Garis Putus berikut Traditional Fishing Ground.

Untuk itu menurutnya, Indonesia sudah sepatutnya memposisikan diri sebagai negara yang berkeberatan secara konsisten (persistent objector) atas okupasi Tiongkok berdasarkan Sembilan Garis Putus.

"Bila tidak, Tiongkok akan mendalilkan Sembilan Garis Putus telah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional," tandasnya.

Diberitakan kehadiran Presiden Jokowi yang sekaligus memimpin rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol , di Perairan Natuna, merupakan penegasan bahwa pulau tersebut merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia (RI). Presiden pun meminta agar ekonomi di Pulau Natuna dikembangkan, terutama yang terkait dengan perikanan dan migas.

“Masalah ekonomi dan masalah kedaulatan, itu saja. Jadi tadi saya pikir kita tidak ingin ada (yang) menganggu stabilitas keamanan di kawasan,” kata Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan saat ditanya wartawan mengenai arahan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas, di atas KRI Imam Bonjol, di perairan Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (23/6/2016).

Sebelumnya Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan, sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi selalu menekankan, pertama adalah perkembangan wilayah terluar harus diperhatikan, menjadikan prioritas, dan yang kedua adalah mengenai kedaulatan dan hak berdaulat harus terus terpelihara dan terjaga. “Kali ini, perhatian Presiden ada di Pulau Natuna sebagai salah satu wilayah atau pulau terluar Indonesia,” ujarnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved