Senin, 6 Oktober 2025

Reshuffle Kabinet

Budyatna: Jokowi Harus Ganti Jaksa Agung

Agar tidak menjadi beban di masa datang, Jokowi harus mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo

Penulis: Johnson Simanjuntak
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Jaksa Agung Prasetyo 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Muhammad Budyatna berharap Presiden Jokowi mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo dan mempertimbangkan mengeluarkan  Partai Nasdem sebagai salah satu anggota koalisi pendukung pemerintahannya.

 “Agar tidak menjadi  beban di masa datang, Jokowi harus mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo dari kabinetnya sekaligus menggusur Partai Nasdem dari koalisi pemerintahannya," ujar Budyatna di Jakarta, Senin (18/1/2016).

Menurut Budyatna, Jika Jokowi bisa meminta MKD dalam memutuskan perkara Papa Minta Saham untuk mendengar suara masyarakat, maka seharusnya Jokowi sendiri dalam hal kasus dana Bansos Sumut bisa mendengarkan keinginan masyarakat, agar kasus ini dibongkar sampai ke akar-akarnya dan mencopot Jaksa Agung.

Disebutkan, akan sangat aneh jika Jokowi bisa meminta MKD seperti itu sehingga membuat Setya Novanto mundur sebagai ketua DPR, namun dirinya sama sekali tidak mengambil tindakan dengan menggunakan hak prerogratifnya mengganti Jaksa Agung.

Budyatna mengatakan langkah Prasetyo sebagai jaksa agung yang terus menegaskan akan mengusut kasus Papa Minta Saham diyakini sekedar untuk mengalihkan isu kasus korupsi dana bansos.

”Dia terus bicara kasus Papa Minta Saham, padahal jelas dia tidak memiliki bukti yang bisa mempidanakan Setya Novanto. Langkah ini saya yakin hanya sekedar untuk mengalihkan isu saja,” ujarnya.

Pengamat Khairul Huda mengatakan pemufakatan jahat hanya bisa dikenakan jika dua orang atau lebih melakukan kejahatan tersebut dengan sengaja, yang artinya para  pihak harus menyadari dan mengkehendaki hal tersebut.

Kesepakatan yang terjadi karena perangkap salah satu pihak yang melakukan pemufakatan jahat menyebabkan gugurnya kesepakatan itu secara hukum sehingga tidak terjadi pemufakatan jahat.

Sementara Amir Hamzah mengatakan melakukan perekaman secara ilegal tanpa izin yang bersangkutan kalau di Belanda dimana KUHAP berasal dan juga negara-negara lainnya dapat dikenakan pidana.

Di Indonesia hal itu belum diatur dalam KUHAP dan baru dalam rencana revisi UU KUHAP hal itu akan diatur.

”Memasang alat perekam yang bekerja otomatis. Menyerahkan hasil rekaman kepada orang lain, tanpa izin itu di Belanda dapat dihukum. Di seluruh dunia hal itu juga tidak bisa dijadikan alat bukti,” katanya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved