Opini
Wacana Menghidupkan GBHN
Sejalan dengan pandangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia.
Sekiranya diikuti dengan cermat kehadiran pola pembangunan nasional, baik berupa Pembangunan Nasional Semesta Berencana maupun GBHN, keduanya tidak mungkin dilepaskan dari peran sentral MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Mengambil contoh Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara (Tap MPRS No I/MPRS/1966) dan serangkaian GBHN yang lahir semasa Orde Baru, produk hukum ini tidak mungkin dilepaskan dari posisi MPR dalam UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Sebagaimana dikemukakan Penjelasan UUD 1945, MPR merupakan penyelenggara negara yang tertinggi dan sekaligus pemegang kuasa negara tertinggi (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis).
Penegasan posisi ini tak terlepas dari posisi MPR yang dianggap penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.
Melanjutkan posisi tersebut, Penjelasan UUD 1945 menyatakan: kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes).
Karena posisi sentral dalam desain bernegara, Pasal 3 UUD 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dalam Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 dinyatakan, karena MPR memegang kedaulatan negara, kekuasaannya tidak terbatas.
Lebih lanjut, posisi sentral MPR dalam hubungan antarlembaga negara bisa dilacak dari Penjelasan UUD 1945: MPR juga mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Karena itu, MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam lima tahun MPR menetapkan haluan negara yang dipakai di kemudian hari.
Membaca konstruksi yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 serta penjelasannya yang dikaitkan dengan Pasal 3 UUD 1945 serta penjelasannya, secara konstitusional pembentukan GBHN tak terlepas dari posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara.
Posisi sentral semakin tak terhindarkan karena bertemu dengan peran MPR dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam hal ini, Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Dengan konstruksi hukum dalam UUD 1945 tersebut, sangat kuat alasan untuk membentuk GBHN sebagai pola pembangunan nasional dalam jangka waktu tertentu.