Kaleidoskop 2015
Kesetiaan Istri Bantu Suami Korupsi
Pepatah di balik kesuksesan pria ada wanita hebat, bisa jadi membuat sederet kasus korupsi belakangan menyeret istri dalam perkara korupsi suaminya.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pepatah di balik kesuksesan pria ada wanita hebat, bisa jadi membuat sederet kasus korupsi yang terjadi belakangan menyeret seorang istri dalam perkara korupsi suaminya.
Dari catatan Tribunnews.com, ada beberapa pasang suami-istri yang terjerumus di pusaran korupsi.
Pertama ialah kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istri keduanya Evy Susanti. Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 28 Juli 2015. Keduanya pun telah mendekam di balik jeruji besi.
Kasus suap terhadap tiga hakim dan seorang panitera PTUN Medan ini terungkap setelah KPK melakukan tangkap tangan pada 9 Juli 2015. Saat itu, petugas KPK berhasil mengamankan lima tersangka termasuk anak buah OC Kaligis yang bernama M Yagari Bhastara alias Gerry serta barang bukti uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura.
Uang tersebut diduga terkait memuluskan gugatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di PTUN Medan. Gugatan ke PTUN dilayangkan oleh Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis yang merupakan anak buah Gatot. Pada gugatannya tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kemudian menyewa jasa firma hukum OC Kaligis.
Kasus keduanya kini sudah masuk pengadilan. Gatot dan Evy didakwa jaksa melakukan suap kepada tiga hakim dan panitera PTUN Medan dan juga menyuap bekas Sekjen Partai NasDem Rio Capella.
Selanjutnya, terpidana kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK) Wali Kota Nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh.
Keduanya, kini mendekami di bui setelah majelis hakim PT DKI Jakarta melalui putusan banding memperberat hukuman Romi menjadi tujuh tahun penjara dan Masyitoh selama lima tahun bui. Putusan dibacakan pada Kamis (18/6/2015).
Selain itu, keduanya juga dihukum tak dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum selama lima tahun.
Sebelumnya dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Romi divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta. Sementara itu, istrinya, Masyitoh, dihukum empat tahun bui. Mereka juga didenda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Dalam pertimbangan hakim, keduanya terbukti menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar senilai Rp 11,3 miliar dan US$ 316 ribu melalui perantaranya, Muhtar Efendy. Keduanya berhasil terpengaruh Muhtar yang menawarkan jasanya untuk mengurus sengketa pilkada di MK. Muhtar mengaku kepada mereka bahwa dirinya mengenal dekat Akil Mochtar dengan menunjukkan foto-foto bersama.
Sebelumnya, Romi gagal menyabet jabatan Wali Kota Palembang saat Pilkada 2013 silam. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palembang menetapkan dirinya kalah delapan suara dari rivalnya, Sarimuda dan Nelly. Merasa dicurangi, ia mengajukan gugatan. Pasangan suami istri tersebut terpengaruh bujukan Muhtar untuk menyuap Akil.
Pada 20 Mei 2013, Akil melalui putusan MK menetapkan Romi memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebanyak 316.919 suara. Setelah putusan, Romi dan Masyitoh menyerahkan duit sebanyak Rp 2,75 miliar.
Atas tindak pidana tersebut, duo suami dan istri tersebut didakwa melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ketiga, masih dengan kasus memberikan suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar, untuk memenangkan gugatan pilkada di Kabupaten Empat Lawang pada 2013, Budi Antoni Al Jufri dan istrinya Suzanna Budi Antoni diciduk KPK.
Pasangan suami-istri ini memberikan suap untuk mengagalkan kemenangan pesaingnya pasangan Joncik Muhammad-Ali Halimi, diduga Rp 10 miliar. Uang itu bahkan diantarkan langsung oleh istrinya, Suzanna melalui orang dekat Akil, Muhtar Effendy.
Atas perbuatan mereka diduga melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, sederet kasus korupsi menjerat mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin. Sebut saja kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games Palembang, dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Pendidikan Infeksi dan Pariwisata di Universitas Udayana, dan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pembelian saham PT Garuda Indonesia.
Nazaruddin tengah menjalani hukuman pidana penjara selama 7 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
Sementara istrinya, Neneng Sri Wahyuni, juga tidak luput dari jerat hukum. Istri M Nazaruddin ini terlibat dalam kasus korupsi dalam pengadaan dan pemasangan PLTS Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan uang pengganti Rp 800 juta kepada Neneng.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun memperberat pidana uang pengganti Neneng dari semula Rp 800 juta menjadi Rp 2,604 miliar. Neneng sempat mengajukan kasasi, tapi dia mencabut kasasinya tanpa alasan.
Bupati Karawang Ade Swara beserta istrinya, Nurlatifah, divonis masing-masing enam dan lima tahun penjara karena terbukti memeras PT Tatar Kertabumi, Karawang dalam pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan. Pasangan suamis istri tersebut diduga memeras PT Tatar Kertabumi sebanyak Rp 5 Miliar.
Selain pemerasan, pasangan suami-istri itu juga terjerat dugaan tindak pidana pencucian uang. Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan, keduanya juga telah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi.
Tindakan tersebut dilakukan oleh Ade dan Nurlatifah untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Keduanya dijerat pasal 12 e atau pasal 23 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 421 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Untuk dugaan pidana pencucian uang, mereka disangka melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU Nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU yang diubah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Juncto Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.