Kamis, 2 Oktober 2025

Opini

Rekaman dan Permufakatan Jahat

Politisi Senayan yang terindentifikasi sebagai Setya Novanto diduga kuat telah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Editor: Hasanudin Aco
KOMPAS
Ilustrasi 

Masih dalam teori hukum pidana, baik permufakatan jahat maupun percobaan adalah tatbestand-ausdehnungsgrund atau dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), permufakatan jahat yang dijatuhi pidana adalah apabila berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara atau makar, baik terhadap presiden-wakil presiden, pemerintahan yang sah, maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kembali kepada kasus pencatutan nama yang diduga keras dilakukan Setya Novanto, apakah sudah termasuk dalam permufakatan jahat ataukah percobaan, ada beberapa catatan.

Pertama, Pasal 15 UU PTPK secara tegas menyatakan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama.

Kedua, substansi pembicaraan diduga keras mengarah pada permufakatan jahat atau percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan pasif atau pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 12 UU PTPK.

Ketiga, untuk mengetahui ada-tidaknya permufakatan jahat atau percobaan, rekaman pembicaraan harus digali lebih mendalam, khususnya inisiatif pertemuan dilakukan oleh siapa.

Hal ini untuk menentukan adanya voornemen atau niat dari inisiator pertemuan termasuk motif di balik pertemuan tersebut.

Keempat, jika merujuk pada Pasal 88 KUHP yang mendefinisikan permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah bersepakat untuk melakukan kejahatan, maka perlu ditelaah apakah ada meeting of mind dari para pelaku dalam pertemuan tersebut.

Meeting of mind dalam permufakatan jahat sama dengan kesepakatan dalam delik penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. Hanya saja, dalam delik penyertaan harus ada kualifikasi lebih lanjut para pelaku peserta, apakah sebagai turut serta melakukan, sebagai yang menyuruhlakukan, ataukah sebagai yang menggerakkan atau yang membujuk.

Oleh karena itu, dalam konteks permufakatan jahat untuk melakukan penyuapan atau pemerasan, meeting of mind dari dua orang atau lebih tidaklah berarti harus ada kesepakatan antara yang menyuap dan yang disuap atau antara yang memeras dan yang diperas, tetapi cukup adanya kesepakatan dua orang atau lebih untuk meminta sesuatu atau memeras tanpa harus ada persetujuan dari yang akan menyuap atau yang akan diperas.

Selain itu, adanya meeting of mind tidak perlu dengan kata-kata yang menandakan persetujuan secara eksplisit, tetapi cukup dengan bahasa tubuh atau kalimat-kalimat yang secara tidak langsung menandakan adanya kesepakatan.

Dalam konteks teori, hal ini dikenal dengan istilah sukzessive mittaterschaft yang berarti adanya keikutsertaan dalam suatu kejahatan termasuk permufakatan jahat dapat juga dilakukan secara diam-diam.

Dengan demikian, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo, bahwa substansi pembicaraan memiliki indikasi adanya permufakatan jahat, kiranya tidak sebatas wacana, tetapi dapat ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap para pihak yang terlibat dalam pertemuan tersebut.

Eddy OS Hiariej
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Rekaman dan Permufakatan Jahat".

Sumber: KOMPAS
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved