Jumat, 3 Oktober 2025

Penyelesaian Kasus MKD Jangan Kaburkan Kepentingan Indonesia di Freeport

PT Freeport seharusnya membayar royalti lebih tinggi 6-7 persen.

Penulis: Johnson Simanjuntak
Warta Kota/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Sejumlah mahasiswa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Musim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi di Depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (7/12/2015). Aksi yang menyerukan Nasionalisasi Freeport tersebut meminta pemerintah agar tidak memperpanjang kontrak karya Freeport pada tahun 2021 dan melakukan nasionalisasi Freeport. Warta Kota/angga bhagya nugraha 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bergulirnya penyelesaian kasus “Papa Minta Saham” di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR jangan sampai mengaburkan kepentingan agar Indonesia mendapatkan manfaat lebih besar dari pengelolaan tambang PT Freeport.

Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah memberikan sejumlah syarat jika PT Freeport ingin mendapat perpanjangan kontrak.

Syarat-syarat tersebut adalah pembaruan terhadap pembagian royalti, pembangunan smelter, divestasi, pembangunan Papua termasuk memperbaiki pengolahan limbah.

Terkait hal tersebut, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi di Jakarta, Selasa (8/12/2015), mendukung pernyataan Menko Rizal Ramli agar kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto jangan mengaburkan masalah sesungguhnya yang jauh lebih besar yakni soal pertambangan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Adhie Massardi mengatakan, pernyataan Menko Rizal Ramli bahwa kasus rekaman yang disebut-sebut melibatkan Ketua DPR RI Setya Novanto, pengusaha Reza Chalid, dan Dirut PT Freeport Indonesia Ma’roef Syamsudin, hanya sinetron, perang antar-geng yang berebut saham, sangat beralasan dan tepat.

Kasus di MKD DPR itu hanya secuil masalah dari persoalan besar yang sesungguhnya yakni PT Freeport seharusnya membayar royalti lebih tinggi 6-7 persen.

Di masa lalu akibat “henki pengki” perusahaan asal Amerika Serikat itu hanya membayar royalti 1 persen.

Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu lebih jauh mengatakan, menurut UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba, sekarang Indonesia memasuki rezim izin pertambangan dan bukan lagi rezim kontrak karya apalagi rezim “hengki pengki.”

“Makanya, jangan ada upaya lagi dari pihak mana pun untuk melakukan perpanjangan kontrak karya, apalagi meminta saham, karena hal itu melawan hukum,” katanya.

Dengan demikian, lanjut Adhie Massardi, pemerintah bisa leluasa mengatur segala persyaratan yang sebesar-besarnya demi keuntungan bangsa Indonesia sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Tentu saja PT Freeport Indonesia, kata dia, karena sejarahnya harus menjadi pihak pertama yang mendapat tawaran.

Kecuali mereka (PT Freeport) tidak sanggup melaksanakan kewajiban yang disyaratkan Pemerintah Indonesia, seperti bangun smelter, dan sebagainya.

Apabila PT Freeport memang gugur dalam perolehan izin pertambangan, Pemerintah Indonesia berkewajiban mengganti kerugian yang ditimbulkan.

Sebaliknya, PT Freeport juga wajib mengganti kerusakan lingkungan melalui hasil audit forensik tim independen.

“Dengan demikian, terbuka kemungkinan tambang emas di Timika ini dikelola BUMN, BUMD, swasta nasional, atau gabungan dari ketiga elemen tersebut,” kata Ahdie Massardi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved