Opini
Visi Jokowi
Salah satu acara penting Presiden Joko Widodo di Washington adalah pidatonya di Brookings Institution.
Sambil tersenyum dia mengakui kekagetan Obama ketika diberi tahu dalam pertemuan mereka di Gedung Putih bahwa Indonesia kini mau masuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
TPP adalah kegiatan utama Obama untuk membebaskan perdagangan antara negara-negara bersangkutan sambil menciptakan sejumlah persetujuan baru tentang hal penting, seperti bea cukai, hubungan buruh, dan hak kekayaan intelektual.
Dalam acara tanya-jawab, Jokowi ditanya tentang kebijakan kemitraan negara-swasta untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur.
Penanya James Castle, konsultan bisnis yang lama tinggal di Indonesia dan tahu betul betapa sulit menciptakan kemitraan itu.
Daripada menjawab langsung, Jokowi meminta Menteri Perdagangan Thomas Lembong menjelaskan proyek-proyek yang sudah jadi dan sedang direncanakan.
Lembong ternyata sangat menguasai bahasa Inggris pada tingkat kefasihan yang jarang ditemukan pada pejabat Indonesia. Jawabannya juga sarat informasi spesifik yang pasti meyakinkan para investor potensial yang hadir.
Selain itu, ada dua komentar menarik. Pertama dari anggota Kongres, Brad Sherman, ketika dia memperkenalkan Jokowi.
Para hadirin, yang sebagian besar kemungkinan tak tahu banyak tentang Indonesia, diingatkan bahwa 60 tahun lalu Presiden Soekarno diundang berpidato di depan Joint Session of Congress, sesi gabungan Senat dan Dewan Perwakilan.
Undangan itu suatu prestasi besar yang jarang diberikan kepada tamu negara, termasuk pemimpin negara sekutu.
Sherman berharap dalam waktu tak terlalu lama seorang presiden dari Indonesia akan sekali lagi diundang bicara di depan Joint Session itu.
Tentu harapan itu disampaikan dengan pengertian bahwa Pemerintah Indonesia, mungkin termasuk Jokowi sendiri, merasa kecewa mengenai itu, apalagi setelah mereka melobi keras demi perwujudannya.
Dua wacana
Komentar kedua diucapkan Talbott tatkala acara ditutup. Kata-kata Jokowi yang paling berkesan, simpul Talbott: Indonesia pasca-reformasi membuktikan bahwa Islam dan demokrasi tak berlawanan. Malah Indonesia membuktikan Islam dan modernitas pun tak bertentangan.
Saya sendiri teringat bahwa ada dua wacana yang mengikat Indonesia dan Amerika masa kini: bagaimana menciptakan kemakmuran global dan menanggulangi serangan yang semakin ganas dari kaum jihadi, seperti baru kita saksikan di Paris.
Kesimpulan saya: kita sudah bersama-sama mengerti masalah pertama dan pemecahannya.
Namun, baik di Indonesia maupun di Amerika belum ada pengertian yang memuaskan tentang masalah kedua. Kenapa di negara-negara mayoritas Muslim lainnya umat yang moderat belum cukup besar untuk berdamai dengan demokrasi dan modernitas?
R William Liddle
Profesor Ilmu Politik Emeritus, Ohio State University, AS
Sumber : Harian Kompas