Hakim Tipikor Perintahkan Bendahara Universitas Udayana Kembalikan Uang ke Negara
Jaksa mencecar soal perintah Meregawa kepada dirinya untuk ngirim uang ke rekening negara Rp 5,7 miliar.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kembali menggelar sidang dengan terdakwa Made Meregawa Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan di Universitas Udayana, Rabu (27/10/2015).
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi hari ini, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan bekas Bendahara pengeluaraan Universitas Udayana Putu Tasrini.
Dalam persidangan, jaksa mencecar soal perintah Meregawa kepada dirinya untuk ngirim uang ke rekening negara Rp 5,7 miliar.
Hal itu dilakukan pasca Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit ke Unud untuk mengecek penggunaan dana Alkes ini. Hasilnya, BPK menemukan sekitar ketimpangan dana sebesar Rp 5,7 miliar yang merugikan negara.
"Pernah diminta proses mengembalikan uang hasil temuan audit BPK?" Tanya Jaksa Kiki Ahmad Yani dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (28/10/2015).
"Pernah," jawab Tasrini.
"Yang meminta bantuan siapa?" tanya jaksa.
"Beliau (terdakwa) meminta bantu menyetorkan," katanya.
"Berapa banyak uang yang dikembalikan?" Tanya jaksa.
"Rp 5,7 miliar," kata Tasrini.
Jaksa Kiki lalu membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Tasrini dihadapan penyidik KPK sebelum persidangan.
"Saya bacakan BAP nomor 40, saya pernah diminta 13 kali untuk setor ke kas negara, uang itu mengembalikan proyek penyelenggaraan Alkes di Universitas Udayana, atas permintaan terdakwa saya menyanggupinya," kata Jaksa yang dibenarkan Tasrini.
Lebih lanjut jaksa juga meminta Made Suardike (mohon di cek), salah seorang bawahan Meregawa terkait prosedur pengembalian uang ke kas negara.
"Setelah audit BPK saya dengar ada denda kerugian negara Rp 5,7 miliar. Di kepanitiaan saya sama sekali ngga ikut, beliau (Meregawa) bilang, nanti tolong dibantu setoran kas negara. Oke enggih (iya), saya jawab," kata
Suardike.
"Ada 13 item ada cek, ada uang tunai, kalau ngga salah pertama kali uang tunai Rp 200 juta. Tunai maupun cek, ngga langsung dari Pak Made, tapi dari Bu Putu," tambahnya.
Made menjelaskan, jumlah uang paling besar yang pernah disetor ialah Rp 2 miliar. Uang itu berbentuk bilyet deposito.
"Hanya Rp 2 miliar yang lain uang cash. Saya kirim ke Bank (BPR), saya setor ke kas negara dengan bilyet deposito. Bilyet itu dicairkan dulu, dititip pada rekening Unud, keluarnya cek Unud," katanya.
Sementara itu Meregawa yang ditemui usai sidang menjelaskan, pihaknya disurati BPK dan harus mengembalikan uang Rp 5,7 miliar tersebut.
"Kemudian kita surati PT Mahkota Negara berkali-kali surat yang kita kirim, jawaban dari PT Pos alamat yang anda tuju salah. Memang ternyata ngga ada alamatnya. Makanya saya cari kesana ternyata alamatnya palsu," kata Meregawa kepada Tribunnews.com.
Dirinya ketakutan setelah diberitahu bakal terjerat hukum jika tidak segera mengembalikan uang tersebut.
"Karena ditunutut BPK, inspektorat harus dikembalikan, kalau tidak kemungkinan bapak akan masuk ranah hukum, saya kan ketakutan, akhirnya kami cicil, pembayaran tahun 2012 ada Rp 200 juta ada Rp 14 juta, ada Rp 500 juga, sampai Rp 2 miliar. Itu pakai uang pribadi, sampai saya gadaikan tanah warisan, lunas akhirnya setelah lunas tetap masuk kesini (dibui) juga," katanya.
Diketahui perbuatan Meregawa merupakan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.