PBNU: Mayoritas Ormas Islam Setuju Hari Santri Tanggal 22 Oktober
PBNU juga sudah menyurati Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah ormas besar Islam dikabarkan sudah menyetujui bahwa tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai hari Santri, bukan 1 Muharam seperti yang sempat dijanjikan Presiden Joko Widodo saat kampanye pilpres silam.
"Dan mayoritas (ormas) sudah menyatakan persetujuannya," ujar Sekretaris Jendral (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini saat jumpa pers di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (6/10/2015).
Mantan Menteri Pemberdayaan Daerah Tertinggal (PDT) itu mengatakan pihaknya sudah menerima informasi, bahwa Kementerian Agama sudah menyurati sepuluh ormas Islam, terkait gagasan penetapan hari santri sebagai hari besar nasional.
PBNU juga sudah menyurati Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, terkait gagasan penetapan 22 Oktober sebagai hari santri.
Dalam surat tersebut juga disampaikan bahwa sejumlah besar ormas Islam, sudah menyetujui tanggal 22 Oktober sebagai hari santri.
"Jadi tampaknya kalau mendengar bocorannya, Insha Allah pemerintah firm (red: sudah menetapkan)," kata Helmy.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PBNU, Said Aqil Siradj mengatakan bahwa 22 Oktober dipilih karena tanggal tersebut mewakili semangat santri terhadap nasionalisme.
Kata dia pada 22 Oktober 1945, Kyai Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad.
Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa agar umat Islam wajib hukumnya dalam membela tanah air.
Sedangkan bagi umat Islam yang tewas dalam perjuangannya membela negara, maka matinya dapat dikategorikan sebagai mati syahid, mati di jalan agama dan dipastikan masuk surga.
Fatwa tersebut juga melarang umat Islam untuk berkolaborasi dengan penjajah.
KH Hasyim Asy'ari memfatwakan siapapun yang berkolaborasi dengan penjajah, dapat disebut sebagai seorang yang kafir.
"Barang siapa yang bekerjasama dngn penjajah, mati kafir, mati tidak disalatkan, walaupun kiai," jelasnya.
Fatwa yang disampaikan sekitar 70 tahun lalu itu, telah memicu gelombang santri dari berbagai penjuru Jawa untuk berkumpul di Surabaya melakukan perlawanan. Alhasil terjadi perang hebat di Surabaya pada 10 November 1945.