Selasa, 30 September 2025

Pilkada Serentak

Selisih Suara Berpotensi Menimbulkan Gejolak

Mereka bisa melakukan kecurangan hingga melewati batas yang ditentukan, untuk bisa memenangkan pemilihan.

Editor: Johnson Simanjuntak
Nurmulia Rekso Purnomo/Tribunnews.com
Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani dalam konfrensi persnya di kantor SETARA Institute, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Syarat selisih suara dengan ketentuan maksimal untuk mengajukan gugatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), berpotensi memicu perbuatan curang para peserta Pilkada.

Mereka bisa melakukan kecurangan hingga melewati batas yang ditentukan, untuk bisa memenangkan pemilihan.

Pada pasal 6 ayat 2, Undang undang nomor 8 tahun 2015, diatur soal persyaratan selisih suara pengajuan gugatan.

Untuk pilkada yang digelar di wilayah yang jumlah penduduknya di bawah 2 juta jiwa, selisih perhitungan suara maksimalnya adalah dua persen.

Untuk jumlah penduduk 2-6 juta jiwa selisih maksimalnya 1,5 persen, untuk jumlah penduduk 6-12 juta jiwa selisih suara maksimalnya adalah 1 persen, dan untuk jumlah penduduk di atas 12 juta jiwa selisih suaranya 0.5 persen.

Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani dalam konfrensi persnya di kantor SETARA Institute, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015), mengatakan ketentuan selisih suara maksimal akan menggugurkan gugatan dari peserta Pilkada yang jumlah suarnya lebih dari yang ditentukan.

Ia mencontohkan, untuk wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa, selisih yang diperbolehkan adalah 2 persen.

Namun bila selisih suara tidak sampai 2 persen, maka gugatan yang disampai kan tidak akan diterima Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi berlomba lomba saja lah itu peserta melakukan kecurangan, sampai melebihi batas yang ditentukan," ujarnya.

Kecurangan tersebut dikhawatirkan tidak akan dipermasalahkan, karena ketentuan di MK kini lembaga tersebut tidak mengurus kecurangan-kecurangan pemilihan.

Proses pelanggaran hukum terkait Pilkada ditangani oleh Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu), yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

SETARA Institute menyayangkan hal tersebut. Pasalnya selama ini Gakumdu seperti tidak pernah terdengar sepak terjangnya. Proses hukum yang ditangani Gakumdu seperti tidak berimplikasi pada hasil perolehan suara Pilkada.

"Saya tidak bisa membayangkan kemarahan masyarakat, ketika MK akan menolak begitu saja perkara karena selisih suara tidak sesuai," ujarnya.

Pilkada adalah perhelatan yang dimaknai lebih emosional oleh masyarakat. Bila pada Pemilihan Presiden kemarin gesekan antar kelompok tidak begitu masih, maka lain halnya dengan Pilkada. Hal itu terbukti dari perhelatan Pilkada selama ini.

"Pilkada itu berhubungan erat dengan masyarakat. Dalam banyak peristiwa, terjadi pengerahan masa, suap, kecurangan. Ini potensi gejolak yang sangat besar," katanya.

Pilkada digelar serentak di 266 wilayah tahun ini, SETARA Institute khawatir potensi konflik tersebut bisa terjadi di banyak wilayah. Pemerintah menurutnya harus segera mengantisipasi kemungkinan terburuk itu.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved