Ketua MUI: Jenazah Koruptor Tak Dishalatkan sebagai Sanksi Sosial
Wacana ini menyeruak setelah adanya rekomendasi yang dikeluarkan Pemuda PP Muhammadiyah untuk forum muktamar menfatwakan pelarangan tersebut.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis setuju wacana pelarangan jenazah koruptor untuk disalatkan.
Wacana ini menyeruak setelah adanya rekomendasi yang dikeluarkan Pemuda PP Muhammadiyah untuk forum muktamar menfatwakan pelarangan tersebut.
Karena korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang sulit diampuni-- tindakan syirik, dan syirik tidak pernah diampuni Allah.
Di jaman Nabi SAW sendiri, tindakan itu pernah diterapkan sebagai sanksi sosial bagi orang yang melakukan dosa besar (fasiq) seperti pencurian. Bahkan, pernah Nabi menolak untuk menshalatkannya.Jadi, tindakan itu sanksi sosial yang Nabi lakukan bagi pelaku kejahatan.
"Karena itu, untuk kasus korupsi juga bisa diterapkan sanksi Sosial tidak dishalatkan oleh orang saleh. Jadi cukup rakyat biasa saja yang menshalatkannya," ungkap Cholil kepada Tribun, Rabu (5/8/2015) malam.
Siapa yang akan keluarkan aturaan ini? Apakah pemerintah yang keluarkan? Atau MUI?
Menurut Cholil, cukup melalui seruan ulama, agar koruptor jera. "Sehingga dari ormas sudah cukup untuk memberi penjelasan hukum dan sanksi sosial kepada masyarakat untuk tidak menshalatkan koruptor," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengusulkan, Muktamar Ke-47 Muhammadiyah mengeluarkan rekomendasi agar jenazah koruptor tidak dishalatkan. Menurut dia, korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang sulit diampuni.
"Saya mendorong rekomendasi atau fatwa bahwa koruptor tidak usah dishalatkan karena korupsi itu tindakan syirik, dan syirik tidak pernah diampuni Allah," kata Dahnil di Universitas Muhammadiyah Makassar, Rabu (5/8/2015).
Ia mengibaratkan kejahatan korupsi seperti kejahatan genosida atau pembunuhan massal. Bedanya, korban genosida meninggal secara cepat, tetapi korban kasus korupsi meninggal secara perlahan-lahan akibat efek yang ditimbulkan.
"Korupsi jangan hanya dipersepsikan secara politik, tetapi harus dipersepsikan sebagai kejahatan yang kebih kejam dari genosida," ujarnya.
Ia menambahkan, Muhammadiyah perlu meningkatkan perannya sebagai organisasi dakwah yang memiliki perhatian terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan, jika perlu, Muhammadiyah menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.
"Muhammadiyah jangan hanya jadi muazin, tetapi harus menjadi imam pemberantasan korupsi," kata Dahnil.