Senin, 6 Oktober 2025

Opini

Korupsi Gerogoti Kekayaan Negara

Menurut pendiri Singapura itu, salah satu faktor penghambat kemajuan Indonesia adalah korupsi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-inlihat foto Korupsi Gerogoti Kekayaan Negara
istimewa
ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam buku One Man's View of The World yang dirilis dua tahun sebelum berpulang, Lee Kuan Yew mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju.

Namun, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Menurut pendiri Singapura itu, salah satu faktor penghambat kemajuan Indonesia adalah korupsi. Akibat korupsi, satu per satu kekayaan alam Indonesia habis tanpa menciptakan kemakmuran pada generasi-generasi berikutnya.

Pada 1970-an, Indonesia booming minyak bumi. Namun, tidak bisa dimanfaatkan.Sekarang, ironisnya, Indonesia justru menjadi importir minyak. Pada 1980-an, Indonesia kembali kehilangan kesempatan dari booming kayu. Saat itu, hutan dibabat dan kayunya dijual secara besar-besaran. Kini, yang tersisa hanyalah hutan-hutan gundul dan rusak.

Dekade berikutnya, lagi-lagi Indonesia tidak mampu membangun fondasi ekonomi dari booming tambang dan batubara. Padahal, lahan-lahan telah dikeruk, menyisakan bencana bagi generasi berikutnya. Keberlimpahan sumber daya alam Indonesia tak menjadi apa-apa karena digerogoti korupsi.

Berbagai penelitian di dunia menunjukkan, ada korelasi erat antara korupsi dan perekonomian. Paolo Mauro, ekonom Harvard University, misalnya. Dalam tulisannya, "Corruption and Growth" yang dimuat dalam Quarterly Journal of Economics, Mauro sepakat dengan "sand the wheels hypothesis" atau hipotesis yang menyatakan bahwa korupsi merupakan pasir bagi roda pembangunan.

Dampak korupsi terhadap pembangunan juga bisa diukur dengan berbagai indikator. Transparency International (TI), misalnya, membandingkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) suatu negara dengan sejumlah indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto, tingkat pengangguran, dan indeks gini yang menunjukkan ketimpangan pendapatan.

Hasil kajian NGO global anti korupsi itu menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan yang terjadi di negara tersebut. Artinya, korupsi membuat si kaya semakin kaya dan si miskin tambah miskin.

Hal ini sejalan dengan pikiran Vito Tanzi, ekonom Harvard lainnya, yang menyatakan bahwa korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar. Hasil analisis TI juga menunjukkan, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin tinggi pula tingkat pengangguran di negara bersangkutan.

Selanjutnya, hasil penelitian D Treisman (2000) bertajuk "The Causes of Corruption: A Cross-National Study" yang dimuat dalam Journal of Public Economics menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara tersebut.

Terbukti, negara maju, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero corruption. Sebaliknya, negara-negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi.

Dalam Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi, akademisi UGM, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan, korupsi juga akan menciptakan adverse selection masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di suatu negara. Para investor dari negara dengan tingkat korupsi rendah cenderung memilih investasi ke negara yang sama-sama memiliki tingkat korupsi rendah dan sebaliknya.

Sekjen TI Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, berdasarkan CPI 2014 yang dirilis TI, Indonesia hanya mendapat skor 34 (dari skala 100) atau di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di posisi ke-107 dari 174 negara.

Dengan tingginya korupsi, tak heran dalam survei Doing Business 2015 yang dirilis World Bank, Indonesia di posisi ke-114 dari 189 negara dengan skor 59,15 dalam skala 0-100. Indonesia dinilai masih buruk dalam beberapa hal, seperti proses perizinan yang lama, perlindungan usaha, dan administrasi pertanahan.

Terkait perizinan dan pelayanan publik, survei Global Corruption Barometer yang dikeluarkan TII menunjukkan, 4 dari 10 warga Indonesia membayar suap untuk mendapat pelayanan publik. Selain itu, 36 persen masyarakat membayar suap untuk mengakses 8 jenis layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan air, pajak, tanah, kepolisian, serta hukum.

Negara maju

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Tags
korupsi
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved