Hukuman Mati
Hakim Agung: Tudingan Menlu Australia Lecehkan Pengadilan Indonesia
Ucapan Bishop juga bentuk pelecehan terhadap pengadilan Indonesia atau Contempt of Court.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Agung Profesor Dr Gayus Lumbuun angkat bicara terkait pernyataan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menuding adanya dugaan permintaan suap dalam proses persidangan dibalik vonis mati kasus narkotika, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
"Apa yang diucapkan Menlu Australia, itu melanggar kedaulatan negara lain, ini bukan hanya negara. Tapi kedaulatan penengkan hukum," kata Gayus kepada wartawan, Selasa (28/4/2015).
Menurutnya, ucapan Bishop juga bentuk pelecehan terhadap pengadilan Indonesia atau Contempt of Court.
"Mencampuri, apalagi dugaan yang belum pasti. Dan itu bisa terjadi tidak hanya di dalam pengadilan, bisa terjadi diluar pengadilan," kata Gayus.
Gayus meminta pemerintah dan lembaga peradilan untuk segera meluruskan tudingan tersebut. Namun Gayus juga mendesak jika memang hal itu benar terjadi, hakim yang bersangkutan harus diberikan sanksi.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kembali meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap dua terpidana mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, sampai masalah hukum diselesaikan.
Bishop merujuk upaya tim kuasa hukum Sukumaran dan Chan ke Mahkamah Konstitusi.
"Saya hendak mengingatkan bahwa para pengacara Chan dan Sukumaran sedang menyampaikan gugatan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Bishop sebagaimana dikutip stasiun televisi Australia, ABC.
Bishop juga menyebut bahwa penyelidikan atas dugaan suap terhadap hakim yang memimpin persidangan Chan dan Sukumaran masih berlangsung.
"Komisi Yudisial masih menyelidiki dugaan korupsi persidangan. Kedua hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai integritas pengadilan dalam menjatuhkan hukuman dan proses pemberian grasi," ujarnya.
Komentar Bishop direspons oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia. Juru bicara Kemenlu, Arrmanatha Nasir, mengatakan Australia perlu memberi bukti atas dugaan korupsi hakim pengadilan. Dia pun mempertanyakan mengapa Australia baru mengungkit masalah ini sekarang. Padahal proses hukum Chan dan Sukumaran telah berlangsung 10 tahun lalu.
Lagipula, tambah Arrmanatha, Chan dan Sukumaran telah diberikan koridor hukum untuk menentang vonis hukuman mati. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran telah berada di Nusakambangan, menunggu pelaksanaan eksekusi mati.
Dugaan suap hakim pengadilan yang menyidang Chan dan Sukumaran pertama kali mencuat awal tahun ini. Pengacara di Bali, Muhammad Rifan, mengatakan kepada surat kabar the Sydney Morning Herald bahwa dia sepakat membayar majelis hakim sebesar 130.000 dolar Amerika, atau sekitar Rp 1,3 miliar agar Chan dan Sukumaran dijatuhi hukuman penjara kurang dari 20 tahun.
Rifan mengaku uang telah dibayarkan, namun majelis hakim mengatakan mereka telah diperintahkan pejabat senior pemerintah untuk menerapkan hukuman mati.
Belakangan, salah seorang hakim menepis pengakuan Rifan. Menurutnya, mereka menjatuhkan putusan tanpa campur tangan politik atau negosiasi di bawah meja.