Keputusan Calon Kapolri Hanya di Tangan Jokowi
terkait polemik calon Kapolri sesungguhnya Presiden yang paling berkepentingan dan memiliki otoritas penuh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Farouk Muhammad, mengimbau kepada partai politik, lembaga sosial masyarakat (LSM), aktivitas termasuk media massa untuk tidak perlu mengekspresikan kepentingan mempertahankan Komisaris Jenderal Budi Gunawan atau mengajukan figur tertentu lain sebagai calon Kapolri.
Serahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada Presiden sesuai mekanisme Undang-Undang yang berlaku.
Farouk Muhammad menjelaskan, terkait polemik calon Kapolri sesungguhnya Presiden yang paling berkepentingan dan memiliki otoritas penuh untuk memilih pembantunya, karena pada akhirnya Presiden sebagai kepala negara yang mempertanggungjawabkan secara administratif dan politis kinerja institusi Polri.
Farouk yang merupakan salah satu anggota panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (pansel KPK) ini menambahkan, sebaliknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas pencalonan Budi Gunawan bukan merupakan keputusan akhir, tetapi sesuai dengan rumusan pasal 11 Ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian hanya menjadi prasyarat bagi Presiden dalam pengambilan keputusan terhadap calon Kapolri.
Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa yang dimaksud "dengan persetujuan ..." adalah "setelah mendapat persetujuan ..." Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan tersebut mempertegas bahwa walaupun sudah ada persetujuan DPR, pengangkatan Kapolri belum dilakukan oleh Presiden.
“Karena itu, jikapun Presiden mengajukan lagi calon Kapolri yang baru selain Budi Gunawan dengan alasan telah ditetapkan sebagai tersangka KPK sebenarnya sah-sah saja,” kata Farouk dalam keterangannya, Sabtu (7/2/2015).
Farouk memaparkan, bercermin dari pelajaran di banyak negara, kepolisian seringkali menjadi rebutan kekuasaan (politik).
"Berbeda dengan militer yang hanya memiliki senjata atau jaksa/hakim yang hanya memiliki otoritas, kepolisian memiliki kedua kekuatan (power) tersebut. Kewenangan kepolisian mudah disalahgunakan secara tersamar untuk kepentingan politik, di balik otoritasnya yang legal," tuturnya.
Apabila manuver politik terus dilakukan, ia khawatir akan dikomandoi oleh pemain-pemain politik, soliditas internal akan porak-poranda dan perwira-perwira oportunis dalam tubuh Polri akan ikut bermain politik.
"Sehingga pada akhirnya kita akan mengadopsi 'the political model of policing' dan tunggulah kehancuran 'supremasi hukum' serta kegagalan reformasi Polri yang sudah kita perjuangkan dengan susah payah selama ini," tegasnya.