Kontras: Mahkamah Agung Asal Proses PK Pollycarpus
"Putusan-putusan PK Polly juga tak ada di website mereka, ini indikasi ada yang disembunyikan," ujar Kanesia di Jakarta, Minggu (30/11/2014).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung dituding sebagai sumber pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus Budihari Prijanto, narapidana pembunuhan aktivis HAM Munir Thalib
Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia menilai pintu masuk pengurangan hukuman terhadap mantan pilot Garuda itu setelah mengajukan peninjauan kembali (PK) kedua ke MA. Harusnya MA sadar dan awas.
"Kenapa bisa diajukan dua kali? Ini menunjukkan kamar pidana MA tak jeli melihat kasus Munir dan asal proses. Putusan-putusan PK Polly juga tak ada di website mereka, ini indikasi ada yang disembunyikan," ujar Kanesia di Jakarta, Minggu (30/11/2014).
Sejak 2009, MA sudah mulai merapikan kebiasaan dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.10 Tahun 2009. Isi SEMA melarang pengajuan PK lebih dari sekali dalam kasus yang sama, baik pidana maupun perdata.
Bentuk konkret pelarangan itu adalah MA memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri (tempat pengajuan dan pendaftaran PK) dan Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak menerima dan mengirimkan berkas PK itu ke MA.
Namun, SEMA ini memberi pengecualian. Khusus untuk PK yang didasarkan pada alasan pertentangan putusan, MA masih memberi kesempatan untuk menerima berkas PK itu. Tapi, pengajuan bukti baru di PK Pollycarpus tidak ada.
Wakil Koordinator Kontras Chrisbiantoro menambahkan, yang diajukan Polly bukan bukti baru. Locus tempusnya yang menjadi masalah. Pemberian racun Munir bukan dari Singapura ke Belanda, tapi saat sudah di bandara Changi, Munir sudah terlihat lemas dan mengonsumsi mie goreng yang telah diberi racun, bukan orange juice.
"Pramugari, Yetty sebagai saksi kunci juga telah menerangkan memberikan mie goreng saat penerbangan dari Jakarta ke Singapura, disana bisa dilihat indikasinya Munir diracuni " ungkap Chrisbiantoro.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Pollycarpus bersalah dan menjatuhkan pidana penjara 14 tahun. Di tingkat banding, hakim menguatkan putusan pengadilan pertama tersebut.
Publik geger saat Pollycarpus mengajukan kasasi ke tingkat MA, yang diganjar dengan putusan bebas. Tapi jaksa mengajukan PK dan MA menjatuhkan hukuman 20 tahun untuk Pollycarpus. Ia pun mengajukan PK dan hukumannya dikurangi menjadi 14 tahun.