Kontroversi Aborsi Korban Perkosa
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menilai wajar pemerintah memperbolehkan aborsi dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan
Menurut pasal tersebut, setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, ataupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Penentuan indikasi kedaruratan medis dilakukan tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari dua tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. "Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab," demikian bunyi Pasal 35 ayat (1) PP Kesehatan Reproduksi.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menolak PP reposduksi ksehetan yang melegal aborsi. Menurut IDI, PP ini bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kode Etik Kedokteran Pasal 11 Ayat (5) tentang Perlindungan Kehidupan.
"Kalau ingin melakukan aborsi, jangan ajak-ajak kami (dokter). Kami tidak mau dipenjara karena sampai sekarang KUHP masih berlaku. Undang-undang yang kuno dari Babilonia sekalipun sampai pada sumpah Hipokrates yang dibuat Pitagoras sangat mengharamkan aborsi," tegas Zaenal Abidin di kantor pusat PB IDI di Jakarta.