Rekrutmen Calon Kepala Daerah Harus Diperbaiki
mereka akan berusaha keras untuk mengembalikan modalnya dengan menghalalkan segala cara.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Parpol dan calon kepala daerah sengaja memanfaatkan rakyat miskin dengan menggelontorkan uang (money politics) dalam Pilkada, sehingga setelah terpilih dan dilantik sebagai pejabat daerah, mereka akan berusaha keras untuk mengembalikan modalnya dengan menghalalkan segala cara.
"Belum lagi Pilkada tersebut selalu ada konflik karena tak siap menerima kekalahan, atau ada dugaan kecurangan, dan politik uang yang lain," ujar anggota DPD RI asal provinsi Bali, I Wayan Sudirta dalam diskusi ‘Suap kepala daerah, rakyat makin menderita’ bersama Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, dan pakar komunikasi UMB Heri Budianto di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (25/10/2013).
Menurutnya, banyaknya kepala daerah yang tersangkut hukum dan korupsi akhir-akhir ini karena rekrutmen kader dan calon kepala daerah oleh parpol cenderung transaksional, mahar, dan money politics. Karena itu proses dan aturan rekrutmen itu harus diperbaiki, dan momentumnya melalui revisi RUU Pilkada yang sedang dibahas oleh DPR RI.
“Jadi, wajar kalau proses Pilkada dan rekrutmen politiknya, sarat dengan transaksional, maka pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya akan terabaikan. Jalan-jalan tetap rusak di mana-mana, listrik terabaikan, Bansos disalahgunakan, dan korupsi jalan terus,” kata Wayan.
Menurut Heri Budianto, korupsi dan suap di daerah itu sudah mengkhawatirkan dan puncaknya, dengan tertangkap tangannya Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
“Selama proses rekrutmen parpol buruk, cenderung transaksional, maka KKN tak akan selesai. Sebab, untuk menjadi kepala daerah yang baik, maka proses politiknya harus baik, sehingga ketika terpilih akan fokus membangun daerah,” ujarnya.
Apalagi kalau sengketa Pilkada itu dibawa ke MK dengan biaya sampai Rp 30 miliar, tentu akan makin buruk.
“Jadi, selama parpol tak membuat standar rekrutmen yang baik, maka korupsi, politik transaksional, dan mahar akan terus terjadi. Untuk itu, aspek pencegahannya ada di parpol, dan parpol lah yang paling bertanggungjawab,” kata Heri.