Kenaikan Harga BBM
Ketua Apindo: Kebijakan Pemerintah Berorientasi Pemilu
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton Supit, menyindir Pemerintah Indonesia yang membuat kebijakan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton Supit, menyindir Pemerintah Indonesia yang membuat kebijakan berorientasi Pemilu. Pemerintah, kata Anton, sangat takut kepada Pemilu sehingga membuat kebijakan agar selalu populer.
Anton pun mencontohkan bekas Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcer yang berani mengambil kebijakan walau tidak populis dan mengambil kebijakan tidak untuk memenangkan Pemilu.
"Saya simpati pada Margareth Thatcer berani mengambil keputusan walau tidak populis. Sikap ini tidak ada di republik ini. Semua takut pada Pemilu. Lebih baik satu periode tapi ada 'legacy'. Daripada dua periode namun dicaci maki juga," ujar Anton saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (22/6/2013).
Anton menilai kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah masalah leadership (kepemimpinan). Dikatakan Anton, di pelosok-pelosok harga BBM sudah mencapai Rp 6 ribu saat harga resmi pemerintah Rp 4.500 untuk premium bersubsidi.
"Seharusnya 2-3 tahun sudah harus naik. Ini masalah leadership karena selalu berhadapan dengan politik. Jadi jangan tarik ulur lalu bermasalah soal koalisi," kata dia.
Anton juga menyindir subsidi yang tidak adil yang diberlakukan pemerintah. Subsidi selama ini, kata dia, hanya dinikmati lima persen masyarakat paling bawah.
"Yang penting adalah saving lebih ke produktivitas seperti perbaikan infrastruktur, memberikan peluang tenaga kerja akan lebih substain. Kita harapkan kan tadi saving di pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya untuk menciptakan SDM yang lebih baik. Yang naik justru bantuan sosial, ini ujug-ujungnya supaya menang pemilu dan unsur politik," kata Anton.
Anton juga menyinggung mengenai angkatan kerja Indonesia dimana 60 persen adalah 'informal labour' dan 73 juta pekerja berizajah SMP dan SD. Namun, pemerintah dengan bangga mengatakan Indonesia masuk dalam G 20.
"Tapi masih mengirim TKI 7-8 juta orang keluar negeri dan ilegal sebagai PRT. Kita harus malu kita menggembor-gemborkann masuk G 20 atau ungkapan 'Semua mata tertuju ke kita'. Kita terlalu banyak politisasi dan tidak mau kehilangan popularitas," katanya.