Korban Pemerasan Pejabat Layak Bebas dari Hukuman
Mereka memberikan dana karena keterpaksaan

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA- Kalangan investor berada dalam posisi sulit di era otonomi daerah dimana bupati memiliki kekuasaan sangat besar dan nyaris tak terkontrol saat ini.
Mereka harus menjadi obyek pemerasan oleh pejabat, dan terancam diganggu usahanya jika tidak memenuhinya. Namun sebenarnya investor tak harus mendekam dibalik jeruji besi, karena dalam berbagai kasus kalangan investor hanyalah menjadi korban dari sistem.
Dalam hal investor memberikan dana kepada pejabat karena dia terpaksa melakukan demi melindungi kepentingan orang banyak serta tidak merugikan negara, maka investor tersebut selayaknya dibebaskan dari tuntutan perdana. Hal ini diatur dalam KUHP kita, dan dalam instilah hukumnya adalah 'strachfruiting ground' atau penghapusan pidana.
Demikian terungkap dalam debat publik “Bedah Kasus Buol, Pemerasan atau Penyuapan” yang berlangsung di Kafe Pisa Jakarta Rabu (24/10/2012).
Hadir sebagai pembicara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit, Koordinator Indonesia Corupsion Watch Danang Widyoko, Anggota Komisi III DPR I Gede Pasak, Pakar Hukum Frans Hendrawinata, dan Profesor Romli Atmasasmita.
Menurut Ketua Peradi (Persatuan Advokat Indonesia), Frans Hendrawinata, dalam kasus Buol yang telah menyebabkan pengusaha Hartati Murdaya menjadi tersangka, memang harus dikaji lebih jauh apakah ini kasus pemerasan atau kasus penyuapan. Tapi dia yakin, yang kebanyakan terjadi adalah pejabat lah yang meminta dana dari kalangan pengusaha, dan kalangan investor swasta hampir semuanya tidak berdaya menolak permintaan itu.
“Mereka memberikan dana karena keterpaksaan, karena kalau tidak memberi maka bisnisnya akan diganggu baik dari segi perijinan maupun dari segi keamanan,” kata Frans Hendrawinata, Rabu (24/10/2012).
Oleh karena itu jika dalam kasus Buol ini pengusaha memberikan dana karena dipaksa dan dia tak berdaya demi melindungi kepentingan orang banyak, serta tidak merugikan keuangan negara, maka selayakna dihapuskan unsur pidananya. Di dalam KUHP kita ada prinsip
strachfruiting ground yakni penghapusan pidana terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan karena keterpaksaan, tidak merugikan keuangan negara, serta dilakukan untuk melindungi kepentingan orang banyak.
“Bisa dihukum bisa juga tidak. Kita lihat unsur-unsurnya, apakah dilakukan dengan sengaja untuk menyuap, atau dia dipaksa oleh pejabat. Apakah dia merugikan negara atau tidak, apakah tindakannya itu bermanfaat untuk banyak orang atau tidak,” imbuh Frans.
Pada kesempatan yang sama Koordinator ICW, Danang Widyoko, mempertanyakan mengapa untuk berbisnis di Indonesia harus ada suap, antara lain disebabkan terlalu banyaknya perijinan yang harus didapatkan untuk memulai berusaha. Sehingga dari hasil survey ICW kasus paling banyak yang ada di KPK adalah melibatkan pengusaha.
Dalam kasus Buol Danang melihat bahwa yang terjadi bukan hanya korupsi perijinan, tetapi juga korupsi politik dimana bupati harus mendapatkan dana untuk pemenangan Pilkada.
Danang mengakui di setiap tahapan untuk memulai bisnis di Indonesia terjadi penyuapan, tapi seharusnya para pengusaha memiliki keberanian untuk menghentikan praktek haram tersebut.
“Di anyak negara yang terjadi ketika memberantas korupsi itu memang ekonomi akan mundur, tapi ini sementara, dalam jangka panjang akan membaik. Kenapa mundur, karena ada proses internalisasi aturan baru, tata cara baru,” katanya.
Sementara itu Anggota Komisi III DPR-RI, I Gede Pasek, mengatakan bahwa kasus Buol yang menyebabkan Hartati Murdaya berada dalam tahanan KPK ini adalah limbah dari pelaksanaan otonomi daerah.