Aktivis 1998 Trauma Sering Diteror Penguasa
Peristiwa kerusuhan Mei 1998, menyisakan trauma kepada para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi kala itu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa kerusuhan Mei 1998, menyisakan trauma kepada para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi kala itu.
Salah satunya Sarbini, aktivis mahasiswa 1998 dan Ketua Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta. Ia mengaku trauma, karena keluarganya sering diteror.
"Saya trauma berurusan dengan kekuasaan. Karena, dulu kami diteror dan di-stigma, bahwa angkatan kami memperburuk situasi negara," kata Sarbini.
Dulu, lanjut Sarbini, tak hanya dirinya yang menerima teror, kakak ipar perempuannya pun tak luput dari ancaman akan diperkosa. Tak ayal, keluarga kakaknya pindah ke luar Jakarta.
"Dari 1998 sampai tahun-tahun berikutnya, teror itu selalu ada. Saya bisa tenang dan leluasa setelah Gus Dur jadi presiden," terang direktur eksekutif di sebuah lembaga di Bogor, Jawa Barat.
Sarbini juga menyayangkan peristiwa penembakan keempat mahasiswa Trisaksi yang meninggal, tidak diusut tuntas.
Jika bicara sejarah, seharusnya fakta diungkap menyeluruh, siapa aktor atau pelaku di baliknya harus diungkap. Itu berguna bagi generasi selanjutnya, sehingga dapat menjadi pelajaran yang baik.
"Fakta terbuka, sejarah diungkap dengan peradilan, konstitusi, lalu generasi seajarah bisa baca hal tersebut. Jika tidak, generasi sekarang tidak tahu, dan akan memuja pelaku kejahatan waktu itu. Kami dianggap penjahat sudah bikin negara seperti ini," paparnya
Sarbini menuturkan, setiap presiden ada kekurangan dan kelebihannya.
"Problem kita itu kekuasaan di tangan elite, dan mereka belum memberikan apa-apa," cetusnya. (*)
BACA JUGA