Pembatasan Subsidi BBM
Dewi Aryani: Pemerintah Naikkan Harga BBM Tak Masuk Akal
Fraksi PDI-Perjuangan menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi sebesar Rp 1.500 atau pemberian
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PDI-Perjuangan menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi sebesar Rp 1.500 atau pemberian subsidi tetap sebesar Rp 2.000. Penolakan itu bukannya tanpa alasan.
Menurut anggota Komisi VII DPR RI, Dewi Aryani dua opsi pemerintah amat tidak masuk akal. Karena, selain subsidi adalah hak dasar rakyat yang dilindungi konstitusi (UUD 45), subsidi juga menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam mengelola negara. Maka jika subsidi makin dikurangi terus, menjadi bukti pemerintah gagal menjaga amanat rakyatnya.
Sebagaimana diutarakannya berdasar data yang diolah dari berbagai sumber, bahwa kurun waktu 2005 sampai dengan 2012 kenaikan belanja birokrasi sebesar 20,09 persen dan penurunan subsidi BBM untuk rakyat justru sebesar 53,57 persen.
Pada tahu 2005 belanja birokrasi sebesar 39,5 persen, subsidi BBM sebesar 18,7 persen, tahun 2012 belanja birokrasi melonjak menjadi 20,4 persen dan subsidi BBM menurun tajam hanya menjadi 8,7 persen.
"Sepatutnya kedua kebijakan yang ditawarkan pemerintah harus ditolak. Mengingat telah terjadi liberalisasi kebijakan publik di negeri ini," tegas Dewi Aryani di Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Ditegaskannya pula, pemerintah tidak menghitung dengan cermat efek dan risiko dari kebijakan yang tidak dilahirkan dengan proses yang benar. Jika harga minyak mentah dunia 80 dolar AS, harga premium akan berkisar rata-rata Rp 4.500 hingga Rp 5.000.
Lebih lanjut ia menguraikan jika harga minyak mentah nantinya mencapai 120 dolar AS, maka premium mencapai harga Rp 6.500 hingga Rp 7.000.
"Jadi pemerintah hanya akan memberikan besaran subsidi total Rp 123,6 Triliun. Tidak akan bikin bangkrut negara ini, apalagi subsidi juga merupakan stimulus pergerakan ekonomi rakyat," ulasnya.
Malah, menurut Dewi, efek besar yang terjadi jika pembatasan dan kenaikan harga BBM justru lebih besar diantaranya adalah terjadinya kenaikan di banyak sektor primer dan fundamental.
Diantaranya tarif listrik, angkutan, sembako dan harga-harga lain karena logistik dan cost produksi menjadi makin besar. Bahkan bisa berakibat kepada kebangkrutan banyak perusahaan-perusahaan.
"Pengangguran bisa bertambah, orang miskin makin bertambah. Ini yang saya bilang pemerintah belum menghitung risiko-risiko yang besar di depan," ungkap Dewi.
"Apalagi jika sumbernya utang. Berapa bunga yang harus dibayarkan dan cicilan? Bisa malah membangkrutkan negara. Kebijakan pemerintah harus melalui proses pembuatan public policy yang benar dan proper. Good governance menjadi kuncinya," lanjutnya menjelaskan.
Karenanya, Dewi mendesak pemerintah untuk segera memberikan paparan sistem penerimaan negara dan menjelaskan kepada rakyat secara transparan berapa besaran jumlah pemasukan negara sektor pajak dan non pajak. "Saya yakin jika semua proper maka ke depan seharusnya rakyat mendapatkan subsidi yang lebih besar", tandas Dewi.