Polemik Ahmadiyah
Komnas Perempuan Kecam Vonis Rendah Pelaku Cikeusik
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang telah membacakan vonis terhadap 12 pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang telah membacakan vonis terhadap 12 pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Putusan itu dikecam Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
"Putusan hakim yang memidana pelaku hanya 3 hingga 6 bulan menunjukkan kembali kegagalan aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajiban negara menegakkan hak asasi manusia," kata Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah dalam rilisnya, Minggu (31/7/2011).
Menurut Yuniyanti, putusan pengadilan ini mencederai rasa adil, tidak hanya bagi korban tetapi juga bangsa Indonesia, serta berkonsekuensi pada pelembagan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan pengeroposan kepercayaan masyarakat terhadap kewibawaan hukum. "Penghilangan nyawa dengan cara yang kejam yang didahului siar kebencian menuntut penyikapan negara yang serius," imbuhnya.
Yuniyanti mengatakan ketidaktegasan negara menjamin hak beragama bagi setiap warga negara tanpa kecuali malah memojokkan komunitas Ahmadiyah merupakan pemicu tindak kekerasan. Selain itu, menghalangi terselenggaranya persidangan yang adil, sebagaimana tampak dalam sikap hakim dan tuntutan jaksa dalam proses persidangan.
Padahal, kata Yuniyanti, konstitusi menegaskan bahwa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan hak beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Komnas Perempuan mengingatkan bahwa putusan pengadilan tersebut berpotensi menyebabkan berulangnya tindak kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di masa depan, serta terhadap kelompok-kelompok lain di masyarakat yang dianggap sesat, penganut agama lokal, dan kelompok minoritas agama.
"Dalam situasi ini, perempuan dan anak anggota komunitas yang diserang sangat rentan kekerasan, termasuk kekerasan seksual," ujarnya.
Melihat hal tersebut, Komnas Perempuan mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk menjaga independensi sistem peradilan dan kewibawaan hukum di tengah tekanan banyak pihak. Selain itu, MA harus memastikan proses pengadilan juga mewujudkan tanggung jawab negara atas pemulihan keluarga korban, dalam hal ini menjamin keselamatan jiwa dan pemberian kompensasi, rehabilitasi dan restitusi, serta jaminan ketidakberulangan.
"Kami mendesak Jaksa Agung untuk memastikan proses banding serta mendesak Komisi Yudisial untuk segera proaktif memeriksa hakim, dan Komisi Kejaksaan untuk memeriksa jaksa penuntut umum, yang menyidangkan perkara tersebut di atas," ujarnya.