Markus di Mabes Polri
Antara Gayus, Jaksa, Polisi, dan Kejanggalan Hukum
Gayus Halomoan Tambunan. Pegawai rendahan golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak tersebut tiba-tiba menjadi terkenal beberapa minggu terakhir. Adalah mantan Kabares
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gayus Halomoan Tambunan. Pegawai rendahan golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak tersebut tiba-tiba menjadi terkenal beberapa minggu terakhir. Adalah mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji yang membuat nama Gayus bak selebritis pemberitaan nasional. Sebelumnya tak ada yang mengikuti proses penanganan kasus dugaan money laundering, penggelapan, dan korupsi Gayus. Proses persidangannya pun terabaikan media.
Kini Gayus telah membuat kepolisian dan kejaksaan, dua institusi yang "mengurusnya" gerah. Dugaan praktik mafia hukum yang dijalankan Gayus, Polri, dan Kejaksaan yang didengungkan Susno membuat dua institusi penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) dan publik terhenyak. Kedua institusi pun sibuk membenarkan institusi mereka masing-masing. Dari mulai penyidik dan jaksa peneliti hingga pimpinan di kedua institusi, Kapolri, dan Jaksa Agung berlomba mengeluarkan pembenaran dan peyakinan.
Polri dan Kejaksaan berturut-turut pada Jumat dan Senin lalu mengeluarkan pernyataan bahwa mereka profesional dalam menangani kasus Gayus dan tak ada praktik mafia hukum dalam penanganan kasus seperti yang dituduhkan Susno. "On the track (penanganan) kasusnya dilakukan dengan benar dan sesuai dengan keprofesionalan. Kami pastikan tidak ada intervensi di dalam penanganan kasus," kata Edward Aritonang, Kadiv Humas Polri, dalam keterangan persnya, Jumat (25/3/2010).
Polri menjerat Gayus dengan tiga sangkaan tindak pidana, yaitu korupsi, penggelapan, dan money laundering hingga melimpahkan Gayus pada kejaksaan. Polri pun lantang mengatakan dari uang senilai Rp 25 miliar yang ditemukan dan dicurigai oleh PPATK, hanya Rp 395 juta yang terbukti terindikasi dari hasil kejahatan. Uang itu dari PT Megah Cipta Jaya Garmindo, yang dimiliki penguasaha, Mr Son, dan seorang konsultan pajak, Roberto Santonius.
Dari PT Megah Cipta Jaya Garmindo, kejaksaan mengungkap bahwa uang itu masuk ke rekening BCA milik Gayus pada 1 September 2007 sebesar Rp 170 juta, dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp 200 juta. Sedangkan dari Roberto Santonius, Polri menyebut jumlah uang yang masuk ke rekening Gayus dan terbukti hasil kejahatan penggelapan sebesar Rp 25 juta.
Pada titik ini, kejaksaan tak pernah menyinggung sama sekali adanya transaksi dari Roberto ke Gayus. Kejaksaan pun tak menyinggung apakah mereka pernah memerintahkan penyidik Polri untuk memblokir dan menyita uang dari Roberto ke rekening Gayus senilai Rp 25 juta itu.
"Karena Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp 25 miliar di Bank Panin. Kok bisa pegawai negeri yang hanya golongan III A punya uang sebanyak itu," kata Cirrus Sinaga mengungkap alasan mengapa awalnya Gayus dijerat tiga pasal berlapis. Laporan transaksi mencurigakan itu dikatakan Polri berasal dari PPATK.
PPATK, menurut Polri, hanya melapor tiga kali pada 18 Maret 2009, 16 Juni 2009, dan 14 Agustus 2009. Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya.
Untuk korupsinya, terkait dana Rp 25 miliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp 25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.
Hal itu diakui oleh Polri, yang mengatakan bahwa sisa uang senilai Rp 24,6 miliar dari Rp 25 miliar yang semula ada di rekening Gayus dan dituding dari hasil kejahatan ternyata tak dapat dibuktikan sebagai hasil kejahatan.
Transaksi
"Ada perjanjian tertulis antara terdakwa dan Andi Kosasih. Ditandatangani 25 Mei 2008," kata Cirrus. Dalam perjanjian itu, kata Cirrus, Andi meminta Gayus untuk mencarikan tanah dua hektare guna membangun ruko di kawasan Jakarta Utara. Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah tersebut sebesar US$ 6 juta.
Namun Andi, dikatakan Cirus, baru menyerahkan uang sebesar US$ 2.810.000. Andi menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah orangtua istri Gayus, lengkap dengan kwitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada 1 Juni 2008 sebesar US$ 900.000 US dolar, kemudian 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, 27 Oktober 2008 sebesar US$ 260.000, lalu pada 10 November 2008 sebesar US$ 200.000, 10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir pada 16 Februari 2009 sebesar US$ 300.000.
Untuk money launderingnya, sambung Cirrus, hanya tetap menjadi dugaan, sebab PPATK sama sekali tidak dapat membuktikan uang senilai Rp 25 miliar itu merupakan uang hasil kejahatan pencucian uang (money laundering). PPATK sendiri telah dihadirkan dalam kasus itu sebagai saksi. Hal serupa seperti yang dibunyikan Polri.
Jadilah Gayus ke pengadilan dengan satu pasal dakwaan yaitu penggelapan. Dikatakan kejaksaan, penggelapan dilakukan Gayus, karena tak menjalankan janjinya dalam perjanjian dengan PT Megah Cipta Jaya Garmindo. "Itu uang untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Tapi setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi uang masuk ke rekening Gayus. Dan ternyata dia nggak urus (pajaknya). Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan, jadi hanya diam di rekening Gayus," jelas Cirrus.
Sementara dari Polri tak banyak penjelasan mengenai penggelapan itu. Kedua institusi hanya kembali bertemu pada kesamaan keterangan bahwa berkas Gayus kemudian P-19 dengan petunjuk jaksa untuk memblokir dan kemudian menyita uang senilai Rp 370 juta itu (versi jaksa, versi Polri Rp 395 juta). Dalam petunjuknya, jaksa peneliti juga meminta penyidik Polri menguraikan di berkas acara pemeriksaan (BAP) tentang keterangan itu beserta keterangan tersangka (Gayus Tambunan).