Senin, 29 September 2025

Rektor Dilaporkan Lecehkan Pegawai

Merasa Janggal, Pihak Korban Pelecehan Eks Rektor Universitas Pancasila Datangi Propam Polri

Kasus yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini, tanpa perkembangan yang signifikan, semakin mencuatkan kejanggalan.

|
Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti
KASUS REKTOR - Pengacara korban dugaan pelecehan seksual eks Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, Amanda Manthovani (kiri) dan Yansen Ohoirat (kanan), mendatangi Divisi Propam Polri, Jakarta, Rabu (16/4/2025). Mereka meminta agar Divisi Propam Polri mengasistensi dan mengawasi penyidik Polda Metro Jaya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan mantan Rektor Universitas Pancasila (UP), Edie Toet Hendratno, memasuki babak baru yang penuh ketegangan. Pihak korban, melalui dua pengacaranya, Amanda Manthovani dan Yansen Ohoirat, mendatangi kantor Divisi Propam Polri di Jakarta pada Rabu (16/4/2025).

Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap jalannya penyidikan kasus ini di Polda Metro Jaya yang dirasa janggal dan penuh pelanggaran prosedur.

Kasus yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini, tanpa perkembangan yang signifikan, semakin mencuatkan kejanggalan.

Pihak korban merasa penyidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya, dan lebih parahnya, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan.

Oleh karena itu, mereka meminta pihak Divisi Propam Polri untuk memberikan asistensi dan pengawasan penanganan kasus ini agar tidak terjadi penyelewengan.

“Kami minta Propam Polri melakukan pengawasan terhadap laporan kami di Polda Metro Jaya, karena tingkatannya kan lebih tinggi,“ kata Yansen kepada wartawan.

Baca juga:  Anggota DPR Geram 14 Napi Dugem dan Diduga Pesta Narkoba di Rutan Pekanbaru: Pecat yang terlibat

Permintaan asistensi ini setelah pihak korban menemukan kejanggalan dan pelanggaran syarat formil oleh penyidik Polda Metro Jaya.

Salah satunya, soal waktu pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 25 Juli 2024 kepada korban, padahal SPDP itu terbit sejak 14 Juni 2024.

Hal ini dinilai tidak berkesesuian dengan Pasal 14 ayat (1) Perkap 6/2019 yang mengatur bahwa SPDP dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor, dan terlapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan.

“Ini sudah tidak sesuai dengan kode etik hukum acaranya. Artinya, di sini kita menemui ada syarat-syarat formil yang sudah dilanggar oleh penyidik Polda,” ungkapnya.

Selain itu, setelah mengadu ke Kompolnas dan Bidang Propam Polda Metro Jaya pada 9 April 2025 lalu, pihaknya melakukan penelusuran berkas di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

“Kami melakukan penelusuran berkas perkara dan baru kami ketahui, ternyata dalam perkara tersebut terdapat dua SPDP,” tuturnya.

Selain itu, Yansen juga mempertanyakan sikap penyidik yang dinilai tidak komunikatif. Pasalnya, penyidik ternyata melakukan pemeriksaan saksi dari pihak korban tanpa sepengetahuan dan tanpa pendampingan pengacara.

“Penyidik lebih suka berkomunikasi dengan klien kami, sehingga ketika kita berkomunikasi dengan penyidik, dia enggan menjawab, penyidik menyampaikan dokumen pun langsung ke rumah atau apartemen klien kami sehingga membuat kami khawatir dan waswas,” ucap Amanda.

Dalam kasus ini, Edie dilaporkan RZ ke Polda Metro Jaya dengan nomor laporan LP/B/193/I/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA pada 12 Januari 2024.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan