Sabtu, 4 Oktober 2025

Polisi Diperas Polisi

Psikolog Forensik: Mengapa Eliezer & Madih Tiba-tiba Muncul Meniup Peluit Senyaring-nyaringnya?

Reza membandingkan kasus Madih dengan kasus yang menyeret Richard Eliezer. Richard banting setir menjadi justice collaborator, Madih whistleblower.

Penulis: Dewi Agustina
Kolase Tribunnews/Irwan Rismawan/Kompas TV
(Kiri) Bripka Madih, anggota Provost Polsek Jatinegara Jakarta Timur, mengaku dimintai uang Rp 100 juta oleh oknum anggota Polda Metro Jaya saat melaporkan penyerobotan tanah milik orangtuanya oleh pengembang. (kanan) Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Richard Eliezer Pudihang Lumiu mengikuti sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (30/10/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang polisi bernama Bripka Madih mengaku pernah diminta sejumlah uang pelicin saat membuat laporan polisi.

Anggota Provos Polsek Jatinegara itu dimintai uang oleh penyidik sebesar Rp 100 juta saat melaporkan kasus penyerobotan lahan.

Perlakuan yang diterima Bripka Madih viral di media sosial yang satu di antaranya diunggah akun instagram @jktnewss.

Dalam pengakuannya, Bripka Madih diminta uang sebesar Rp 100 juta agar laporannya bisa diselidiki.

Baca juga: SOSOK Bripka Madih, Anggota Provost Polri yang Mengaku Jadi Korban Pemerasan oleh Sesama Polisi

Tak hanya uang ratusan juta rupiah, Bripka Madih juga mengaku penyidik itu juga meminta sebidang tanah seluas 1.000 meter.

"Ane ini sebagai pihak yang dizolimi, pelapor, bukan orang yang melakukan pidana, kecewa. Karena orangtua ane itu hampir 1 abad, melaporkan penyerobotan tanahnya ke Polda Metro Jaya. Kenapa dimintai biaya penyidikan coba? Oknum penyidik Polda mintanya sama Madih nih Saya, bukan ke orangtua ane. Dan minta hadiah," ucap Madih dalam video yang diunggah akun Instagram @undercover.id pada Kamis (2/2/2023).

"Ane ungkap, ane bongkar, ane buka...."

Demikian ucapan Bripka Madih saat menceritakan kasus yang menimpanya.

Lalu bagaimana menurut Psikolog Forensik?

Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan pandangannya terkait kasus ini.

Menurut Reza Indragiri, kalimat "Ane ungkap, ane bongkar, ane buka...." yang diucapkan Bripka Madih mengingatkannya pada istilah whistleblowing.

"Whistleblowing itulah yang perlu disuburkan di internal kepolisian. Karena, siapa yang paling mungkin mengetahui adanya penyimpangan oleh personel polisi, kalau bukan sesama personel polisi sendiri?" kata Reza dalam rilisnya kepada Tribunnews, Minggu (5/2/2023).

Diakui Reza Indragiri, memang berat menjadi whistleblower.

Baca juga: SOSOK Bripka Madih, Anggota Provost Polri yang Mengaku Jadi Korban Pemerasan oleh Sesama Polisi

Dia menggambarkan, delapan puluhan persen orang menolak buka-bukaan tentang skandal internal karena takut akan adanya pembalasan.

Baik serangan balik dari orang yang bikin skandal maupun pembalasan dari lembaga tempatnya bekerja.

Reza kemudian memberikan perbandingannya dengan mengecek data Propam Polri.

Menurutnya, dari seluruh personel yang dijatuhi sanksi karena melakukan penyimpangan, berapa banyak yang kasusnya bermula dari laporan sesama personel Polri?

"Perkiraan saya, amat-sangat sedikit. Bahkan mungkin tidak ada," ujarnya.

Whistleblower juga acap dinarasikan sebagai pekerja yang buruk.

Sebab seorang Whistleblower ungkap penyimpangan sebagai cara untuk menutup-nutupi kesalahannya.

Padahal, menurut Reza, studi menemukan, kebanyakan whistleblower justru punya potensi kerja yang baik dan komitmen yang tinggi pada organisasi.

"'Kelemahan' mereka cuma satu: menolak ikut arus, menentang kode senyap, yang kadung marak di dalam organisasi," ujar dia.

Sementara kasus yang dilaporkan Bripka Madih--karena sudah meledak di medsos--boleh jadi akan tuntas tertangani.

"Tapi bagaimana dengan nasib Madih sendiri? Seberapa jauh dia sanggup terus bekerja sebagai personel polisi?
Dan selama apa pula satuan wilayah masih betah mempertahankan 'duri dalam daging'?" ujar Reza.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Richard Eliezer, IKA FH Usakti Bakal Ajukan Pembentukan UU Justice Collaborator

Reza kemudian membandingkannya dengan kasus yang menyeret Richard Eliezer di kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

"Richard Eliezer banting setir menjadi justice collaborator. Madih nekat menjadi whistleblower. Bagaimana SDM Polri sepatutnya menyikapi mereka?" ujarnya.

Eliezer dan Mahdi menurut Reza, sudah menunjukkan secara nyata tentang adanya personel polisi--kendati berpangkat rendah--namun lebih mengedepankan ketaatan pada sumpah jabatan ketimbang kesetiakawanan pada subkultur menyimpang.

"Kedua, apa yang sesungguhnya tengah berlangsung pada organisasi kepolisian sampai-sampai ada personel yang buka suara sedemikian 'memalukan'?"

Studi menemukan, perilaku whistleblowing berhubungan dengan tiga pola kepemimpinan.

Pertama, kepemimpinan transformasional yang mendorong anggota dan sistem untuk berubah.

Kedua, kepemimpinan lassez-faire alias pasif, membiarkan, dan cenderung menghindari tanggung jawab.

Ketiga, kepemimpinan otentik: pimpinan menjadikan dirinya sebagai role model atas segala nilai kebaikan yang ingin dia suburkan.

"Silakan Polri evaluasi sendiri, saat ini pola kepemimpinan apa yang sedang berlangsung di internalnya."

"Di situlah akan diperoleh jawaban mengapa Eliezer dan Madih tiba-tiba muncul meniup peluit mereka dengan senyaring-nyaringnya," kata Reza.

Baca juga: Duduk Perkara Kasus Bripka Madih yang Diduga Diperas Penyidik saat Laporkan Sengketa Tanah

Kronologis Bripka Madih Mengaku Diperas Penyidik

Sebelumnya, seorang polisi bernama Bripka Madih mengaku pernah diminta sejumlah uang pelicin saat membuat laporan polisi.

Bripka Madih dimintai uang oleh penyidik saat melaporkan kasus penyerobotan lahan.

Perlakuan yang diterima Bripka Madih viral di media sosial yang satu di antaranya diunggah akun instagram @jktnewss.

Dalam pengakuannya, Bripka Madih diminta uang sebesar Rp 100 juta agar laporannya bisa diselidiki.

Tak hanya uang ratusan juta rupiah, Bripka Madih juga mengaku penyidik itu juga meminta sebidang tanah seluas 1.000 meter.

Madih menuturkan peristiwa yang membuatnya kecewa itu terjadi pada 2011.

Madih mengaku hingga saat ini pihaknya merasa terus dipermainkan oleh sesama anggota kepolisian untuk proses penyidikan sebidang tanah.

"Memang saya tidak pegang barang bukti (percakapan) karena saat saya melapor tidak boleh membawa alat komunikasi. Waktu itu saya diminta datang ke Polda Metro untuk membicarakan kelanjutan laporan penyerebotan lahan," ucap dia.

Madih diketahui ingin mengembalikan hak tanah orang tuanya di girik nomor C 815 dan C 191 dengan total seluas kurang lebih 6.000 meter persegi yang terletak di Jalan Bulak Tinggi Raya, Kelurahan Jatiwarna, Kecamatan Pondok Melati.

Menurutnya, Girik di nomor C 815 seluas 2954 meter telah diserobot oleh sebuah perusahaan pengembang perumahan Premiere Estate 2.

Sementara Girik C 191 seluas 3600 meter diduga telah diserobot oleh oknum makelar tanah.

"Penyerobotan tanah ini terjadi saat saya belum jadi anggota polisi. Tapi ternyata makin menjadi setelah saya masuk kesatuan bhayangkara dan ditugaskan di Kalimantan Barat," terang dia.

Meski sadar akan konsekuensi yang akan diterimanya setelah aksi buka mulut ini, Madih mengaku tak gentar mencari keadilan bagi orang tuanya yang sudah ia perjuangkan selama 10 tahun belakangan.

Duduk Perkara Kasus

Terkait pengakuan Bripka Madih ini, Polda Metro angkat suara.

"Secara kontruktif kami mencoba mendalami kemudian melakukan asistensi oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya terhadap kasusnya, kemudian didapatkan adanya 3 laporan polisi ya," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (3/2/2023).

Laporan polisi pertama dibuat oleh ibu Bripka Madih, Halimah pada 2011 lalu dengan terlapor bernama Mulih.

Dalam laporan tertulis soal tanah seluas 1.600 m² bukan seluas 3.600 m² seperti yang disebut Bripka Madih

"Ini ada terjadi inkonsistensi mana yang benar, tetapi dalam fakta hukum yang kita dapat disini adalah 1.600," tuturnya.

Trunoyudo mengatakan, fakta yang didapat dari hasil pemeriksaan saksi sebanyak 16 orang ternyata sebidang tanah dengan nomor girik 191 telah dijual oleh ayah dari Bripka Madih bernama Tonge dengan bukti sembilan Akta Jual Beli (AJB).

"Telah terjadi jual beli dengan menjadi 9 AJB dan sisa lahannya atau tanahnya dari girik 191 seluas 4.411 ini yang sudah dijual dengan AJB seluas 3.649,5 meter artinya sisanya hanya sekitar 761 meter²," ucapnya.

Trunoyudo mengatakan jika AJB tersebut sudah diteliti oleh tim inafis dengan metode khusus yang hasilnya, cap jempol dalam AJB tersebut identik.

"Fakta identik ini dijual oleh Tonge yang merupakan ayah dari Madih yang dijual sejak tahun 1979 sampai dengan rentan waktu 1992, berarti saat dijual oleh ayahnya yang bersangkutan (Madih) kelahiran 1978 berarti masih kecil," jelasnya.

Trunoyudo melanjutkan dalam laporan tersebut, penyidik belum menemukan adanya suatu perbuatan melawan hukum.

"Nalar kita berpikir, ketika ada diminta hadiah (diperas) 1.000 meter sedangkan sisanya saja tinggal 761 m² tentu ini butuh konfrontir, kita akan lakukan itu (dengan penyidik yang diduga melakukan pemerasan)," jelasnya.

"Kemudian penyidiknya atas nama TG merupakan purnawirawan artinya sudah purna sudah pensiun sejak tahun 2022 pensiun pada Oktober 2022," sambungnya.

Selanjutnya, Bripka Madih kembali membuat laporan polisi pada 23 Januari 2023 atas dugaan pengerusakan barang yang diatur pasal 170 KUHP pada objek tanah yang sama seperti laporan pada 2011 lalu.

"Kemudian ada lagi fakta hukum didapatkan saudara Tonge atau ayah Madih, selain menjual daripada 9 AJB tadi juga ada surat peryataan antara para pihak untuk penyerahan luas bidang tanah sebanyak 800 m² dari saudara Tonge ke Bone. Artinya tadi sudah berkurang lagi ya, ini ada fakta hukum yang didapati," jelasnya.

Laporan terakhir, yakni laporan dari seorang bernama Victor Edward Haloho pada 1 Februari 2023 dengan terlapor Bripka Madih.

"Di mana laporannya adalah menduduki lahan perumahan tersebut pada perumahan Premier Estate 2 di mana Madih masih anggota Polri dengan menggunakan pakaian dinas Polri dengan membawa beberapa kelompok massa sehingga membuat keresahan," ucapnya.

Saat ini, kata Trunoyudo, pihaknya masih melakukan penyelidikan terkait laporan tersebut.

Bripka Madih Polisi Bermasalah

Siapa sebenarnya sosok Bripka Madih?

Fakta terkait sosok Bripka Madih diungkap oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko.

Menurut Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, Bripka Madih, anggota Provos Polsek Jatinegara itu ternyata seorang polisi yang bermasalah.

Bripka Madih dilaporkan ke Propam karena masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada dua istrinya.

"Setelah kita melakukan penelusuran di dapat bahwasanya yang bersangkutan ini pernah berurusan dengan Propam tapi bukan melapor ya," kata Trunoyudo dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (3/2/2023) malam.

Trunoyudo mengatakan pada 2014 lalu, Bripka Madih dilaporkan ke Propam oleh istrinya berinisial SK yang kini sudah bercerai karena melakukan tindakan KDRT.

"Pada pada tahun 2014 yang bersangkutan dilaporkan oleh istri sahnya atas nama SK sudah cerai pertama, terkait KDRT ini 2014 dan putusannya melalui hukuman putusan pelanggaran disiplin," jelasnya.

Setelah itu, Bripka Madih kembali menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang wanita berinisial SS, namun Bripka Madih disebut tidak melaporkan pernikahan kepada Korps Bhayangkara.

Dalam hal ini, Bripka Madih kembali melakukan KDRT kepada istri keduanya itu dan kembali dilaporkan ke Propam di Polsek Pondok Gede dengan nomor laporan LP B/661/VIII/2022 soal pelanggaran kode etik.

"Pada 22 Agustus 2022 dilaporkan lagi oleh istrinya yang kedua yang tidak dimasukkan atau dilaporkan secara kedinasan."

"Artinya tidak mendapat tunjangan secara kedinasan," jelasnya.

Meski begitu, laporan tersebut belum dilakukan sidang kode etik karena istri kedua Bripka Madih tidak datang atas panggilan menjadi saksi pelapor sebanyak tiga kali.

"Saat ini prosesnya tentu akan di-takeover oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya terkait pelanggaran kode etik dengan adanya KDRT," ungkapnya.

Diduga Melanggar Etik

Bripka Madih, anggota Provos Polsek Jatinegara diduga melanggar etik profesi Polri soal pengakuannya diperas oleh penyidik agar laporan penyerobotan tanah orangtuanya diselidiki.

Bripka Madih diduga melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Aturan Disiplin Anggota Polri.

Dalam hal ini, Bripka Madih diduga melanggar etik karena membawa sejumlah orang dan memasang plang di lahan yang dia klaim miliknya pada Selasa (31/1/2023) lalu.

"Yang berbunyi dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Polri dilarang melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah atau Kepolisian Republik Indonesia," kata Kabid Propam Polda Metro Jaya Kombes Bhirawa Braja Paksa kepada wartawan, Jumat (3/2/2023) malam.

Tidak hanya itu, Bripka Madih, kata Bhirawa juga melanggar Pasal 13 huruf g ayat 1 paragraf 4 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

Pasal itu mengatur setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian dilarang menggunakan sarana media sosial dan media lainnya untuk aktivitas kegiatan mengunggah dan menyebarluaskan berita yang tidak benar dan atau ujaran kebencian.

"Wujud perbuatannya pada hari Selasa tanggal 31 Januari 2023 sekitar jam 13.00 WIB, juga telah memberikan pernyataan oleh media televisi, media online yang memberitakan kasus penanganan perkara tanah di Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya," ungkapnya.

Saat ini, Bhirawa melanjutkan, pihaknya akan memeriksa Bripka Madih untuk mendalami dugaan pelanggaran kode etik tersebut.

"Kita lakukan pendalaman, pemeriksaan secara objektif dan profesional serta transparan," ujarnya.

(Tribunnews.com/Dewi Agustina/Abdi Ryanda Shakti) (Wartakotalive.com/Ramadhan/Budi Sam Law Malau)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved