Sabtu, 4 Oktober 2025

Ombudsman kepada Pemprov DKI: Tarif Jaringan Utilitas Pakai Retribusi Bukan Sewa

Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengatakan, pengenaan tarif yang dibebankan itu berupa retribusi daerah, bukan sewa

Tribunnews/JEPRIMA
ILUSTRASI - Para pekerjaan proyek infrastruktur saat menyelesaikan pengerjaan galian kabel dikawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat (27/7/2018). Akibatnya pengerjaan tersebut menyebabkan adanya penyempitan jalur dan berdebu akibat pembangunan infrastruktur moda transportasi mass rapid transit (MRT), Pembuatan saluran air dan galian kabel bawah tanah. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov DKI) beserta Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya dan Jakarta Propertindo (Jakpro) tak mengubah sikapnya untuk mengenakan sewa kepada pelaku usaha yang menggunakan sarana terpadu utilitas.

Setelah melakukan kick off meeting sosialisasi Pergub 106 tahun 2019, kini Pemprov DKI mengadakan focus group discussion untuk melakukan revisi Peraturan Daerah (Perda) 8 tahun 1999 tentang jaringan utilitas bisa memuluskan rencana pengenaan sewa bagi pelaku usaha yang menggunakan sarana terpadu utilitas.

 

Menanggapi hal itu, Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengatakan, pengenaan tarif yang dibebankan itu berupa retribusi daerah, bukan sewa.

Hal itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas

“Pada Pasal 8 di Perda tersebut sangat jelas disebutkan bahwa pemakaian ruang tanah dan penempatan jaringan utilitas sementara dan pemakaian sarana jaringan utilitas terpadu milik pemda dikenakan retrebusi daerah, bukan sewa,” kata Teguh kepada wartawan, Minggu (8/12/2019).

 Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek Dibuka Untuk Umum Secara Gratis Pada 20 Desember 2019

 Jelang Libur Natal dan Tahun Baru, Snow World Revo Town Bekasi Hadirkan Patung Es Nuansa Natal

Teguh mengatakan, tarif retribusi cenderung lebih rendah dibanding pemerintah, menariknya memakai skema sewa.

Alasannya, mekanisme sewa lebih condong melihat kepentingan bisnis dibanding, sistem retribusi daerah.

“Tidak boleh B to B (business to business/ antar bisnis). Jadi, ini sudah ada dugaan mal administrasi yang dilakukan Pemda DKI dan BUMD," ucapnya.

"Karena Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 tahun 2019 tidak mengacu kepada Perda Nomor 8 tahun 1999,” ujarnya lagi.

Menurut Teguh, sarana terpadu utilitas menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 pada Perda 8 tahun 1999.

Ombudsman khawatir jika Pemprov DKI terus ngotot memaksakan kehendaknya mengenakan tarif sewa kepada penyelenggara layanan utilitas publik, maka ujungnya pelayanan publik akan tergangu.

Oleh karena itu, agar pelayanan publik tidak tergangu seharusnya Pemprov DKI menerapkan sistem retribusi, sehingga pemerintah justru dinilai mempertimbangkan kepentingan publik.

 3.000 Penyandang Disabilitas Beraksi Gerak Jalan Santai dan Sehat dan TangCity Mall Tangerang

 Antisipasi Musim Hujan, Ini Beberapa Titik Genangan di Jakarta Timur

Jika tarifnya memakai sistem B to B dikhawatirkan berimplikasi pada pelayanan publik yang selama ini memakai jaringan utilitas seperti telekomunikasi, internet, listrik dan sebagainya.

“Sebenarnya boleh saja bila DKI menunjuk BUMD untuk membangun jaringan utilitas terpadu, tapi tetap saja biaya yang dipungut dari pelaku usaha penyedia jaringan utilitas tersebut berupa tarif retribusi,” katanya.

“Tarif retribusi itu harganya juga sudah standar dan dibakukan di dalam aturan perundang-undangan yang berlaku dan masuk ke kas daerah,” ujarnya lagi.

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved