Dahsyatnya Sistem Pertahanan di Kalijodo dan Kekuatan Orang-orang Bugis
Ini cerita tentang sistem pertahanan di kawasan Kalijodo dan kekuatan orang-orang Bugis di sana.
TRIBUNNEWS.COM - Setelah sempat diramaikan media karena aksi penyerangan Front Pembela Islam pada 2005 silam, di bulan ini, Kalijodo kembali dibicarakan.
Ya, berawal dari rencana penggusuran oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama yang dibalas ancaman perlawanan warga kawasan perjudian tersebut, Kalijodo akhirnya menarik perhatian media.
Dinilai tak memenuhi aturan, Basuki Tjahaya Purnama yang akrab disapa Ahok itu, berencana menertibkan pusat prostitusi dan perjudian yang telah berurat berakar di kawasan Kalijodo.
Kalijodo sebenarnya kawasan tepi sungai yang terletak dekat dengan muara Kalijodo, atau orang Jawa Barat menyebutnya Sungai Ciliwung.
Kawasan ini menjadi pusat keramaian sejak tahun 50-an, bahkan jauh sebelum masa itu telah ramai sebagai pusat pemukiman pedagang dan nelayan.
Ketika perekonomian Jakarta kian pesat, sebagian kawasan Kalijodo pelan-pelan jadi pusat prostitusi dan perjudian.
Hingga kini, kawasan tersebut tetap eksis dan bertahan. Ditengah pesatnya pertumbuhan penduduk Jakarta, Kalijodo seolah mendapat angin segar, terutama karena kian banyaknya pelanggan bisnis esek esek dan judi.
Di samping itu, Kalijodo memiliki sistem “pertahanan” sendiri sehingga sulit dihilangkan.
“Pertahanan” tersebut terutama karena banyaknya kepentingan yang ada di Kalijodo, mulai dari kepentingan pemilik modal, penyedia jasa tempat, preman dan lazimnya di pusat-pusat hiburan, biasanya juga melibatkan oknum aparat.
Kepentingan tersebut menyatu menjadi kekuatan yang mampu mempertahankan keberadaan Kalijodo hingga saat ini.
Namun kekuatan utama di Kalijodo adalah preman. Seperti dilansir oleh beberapa media sebelumnya, di pusat prostitusi dan perjudian liar Kalijodo, terdapat nama-nama besar preman yang menjadi momok.
Krishna Murti, mantan Kapolsek Penjaringan yang kini dikenal sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dengan pangkat Komisaris Besar, mengungkapkan dalam sebuah risetnya, bahwa kelompok preman tersebut memiliki pasukan.
Menurutnya, setelah kerusuhan pada tahun 2002, hanya tersisa dua kelompok dominan, yaitu kelompok Daeng Azis (Bugis) dan Mandar.
Keduanya dikenal kuat. Tetapi setelah kerusuhan 2002, kekuatan kelompok Mandar di kawasan ini pun pudar pelan-pelan.
Kini, kekuatan utama di Kalijodo adalah Daeng Azis, representasi kelompok Bugis.
Entah, dari daerah mana tepatnya di Sulsel asal pria yang disebut-sebut Krishna sebagai pemilik rumah perjudian dalam bukunya, Geger Kalijodo.
Dan, kapan ia datang, lalu membangun rumah bisnis perjudian di kawasan tersebut? Bagaimana ia memulai bisnisnya? Siapa Daeng Azis?
Sejauh ini, belum ada profil jelas tentang sosok itu di media. Sebagian besar hanya menyebutnya sebagai kelompok Bugis.
Orang Bugis di Kalijodo tidaklah baru. Kehadiran orang-orang Bugis di kawasan yang dahulu dikenal dengan Kali Angke itu, telah berlangsung sejak masa Hindia Belanda.
Tidak seperti yang diutarakan oleh Krisnha dalam bukunya, bahwa cerita kedatangan orang-orang Sulawesi ke kalijodo baru dimulai 1965, yaitu saat mereka datang sebagai pekerja di pabrik baja dan bihun yang ada di Kalijodo.
Catatan sejarah menyebutkan, kehadiran orang Bugis di kawasan Kalijodo telah dimulai pada masa kejayaan Makassar di wilayah timur nusantara, abad 17.
Orang-orang Bugis yang lari dari penindasan Kerajaan Makassar, dipimpin seorang bangsawan bernama Arung Palakka dari daerah Bone, mendapat kekuasaan di kawasan kali Angke.
Penguasa Batavia, kala itu perusahaan dagang Hindia Belanda (VOC) melegitimasi kekuasaan Arung Palakka di Angke dengan syarat, mereka membantu VOC memadamkan perlawanan sejumlah Kerajaan di Jawa dan Sumatra.
Termasuk menyerang Kerajaan Makassar yang dikenal sebagai kerajaan terkuat di wilayah timur nusantara. VOC berkepentingan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di wilayah timur yang dikuasai Makassar.
Di masa Hindia Belanda, kawasan muara kali Angke telah dikenal sebagai kawasan padat. Lamanya Arung Palakka bermukim di Angke, membuat namanya tenar di Batavia.
Pengikutnya dikenal pemberani dan jagoan di Angke. Dalam berbagai penaklukan pasukannya kemudian dilabeli lawan-lawannya dengan nama To Angke. Artinya, orang-orang yang berasal dari kali Angke. (Sumber: Abdul Chalid/ Bicara.id )