Demi Anak Istri, Tedjo Bertahan Berjualan Siomay di Gelora Bung Karno
Bukan tanpa alasan Tedjo murung. Sudah pukul tiga sore, siomay yang ia jajakan masih penuh di dalam panci yang ditempatkan di atas jok belakang sepeda
Laporan Wartawan TEDP, Fransiska Noel
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bukan tanpa alasan Tedjo murung. Sudah pukul tiga sore, siomay yang ia jajakan masih penuh di dalam panci yang ditempatkan di atas jok belakang sepeda pancal.
Enggan meratapi nasib kurangnya pembeli siomay hari itu, Selasa (1/9/2015), Tedjo melepas lelah di bawah pohon rindang, tak jauh dari lapangan latihan Tim Nasional Indonesia di kompleks Gelora Bung Karno, setelah menggowes sepedanya berkilo-kilo, mencari pelanggan.
Sejak beristirahat, sambil melonjorkan kedua kakinya yang pegal, waktu yang pas bagi Tedjo berlindung dari terik yang menyengat. Syukur-syukur ada pembeli mendekat dan membeli siomaynya.
Sejak 2000 silam, dengan sepeda pancal yang ia beli murah dan sedikit modifikasi, Tedjo berkeliling menjajakan siomaynya. Agar mencolok pembeli, sepedanya ia pulas dengan cat warna hijau terang. Sore itu ia biarkan handuk kecil untuk menyeka peluhnya tergantung di atas sepeda.
Meski sebagai penjual siomay keliling, Tedjo menawarkan ragam rasa. Ada siomay tuna, telur, kentang, sayur kol, pare, dan tahu yang sudah direbus. Semuanya menumpuk jadi satu di dalam panci. Sedangkan bumbu saus kacang, kecap dan sambal, ia tata rapi tak jauh dari panci berisi siomay. Tak lupa, Tedjo membawa sendiri piring kecil sebagai wadah siomay.
"Sudah dari jam satu siang, baru tiga porsi terjual," ucap Tedjo sambil menarik nafas panjang. Parasnya kecokelat-cokelatan, mengkilap terkena keringat. "Mau gimana lagi, sepi pun tetap bertahan. Masih lumayan jualan di sini daripada di tempat lain."
Sejak 2000 silam, Tedjo memilih kawasan GBK sebagai lokasi untuk berjualan siomay. Syukur-syukur kalau ada acara,Tedjo bisa panen rezeki hingga Rp 200 ribu sehari. Tapi kalau sepi seperti sore ini, dapat Rp 50 ribu saja sudah untung.
"Yang jualan disini banyak Mbak. Bisa puluhan penjual siomay," cerita Tedjo.
Ia tak pernah memimpikan menjadi penjual siomay keliling. Tapi hanya itu yang bisa dilakukan pria lulusan sekolah menengah pertama ini. Dulu, ia sempat jual satai tapi akhirnya bangkrut.
"Tapi tak balik modal. Ujung-ujungnya tetap balik ke sini jualan siomay. Meski lebih banyak sepinya daripada ramai, yah bertahan saja," cerita Tedjo yang hasil keringatnya harus menafkahi anak istri di Cikarang, termasuk menyediakan biaya sekolah putranya yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar.
"Anak istri juga butuh biaya. Hasil julan cukuplah untuk makan, meski sering habis modal, terpaksa pinjam uang sana sini," kata dia.
Tedjo berharap satu saat nanti nasibnya bisa lebih baik, meski untuk saat ini pilihannya tetap bertahan menjadi penjual siomay keliling di kompleks GBK. Ia hanya menggantungkan pada ramainya pengunjung, karena besar kemungkinan pendapatannya lebih besar dari hari ini.