Senin, 29 September 2025

Pilkada Serentak 2024

Soroti Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024, OSO: Hati-hati Calon Tunggal Lebih Bahaya

Eks Ketua DPD RI itu pun meminta para elite politik justru berhati-hati dengan fenomena calon tunggal. Sebab, calon tunggal justru lebih berbahaya

Penulis: Igman Ibrahim
Tribunnews.com/Igman Ibrahim
Oesman Sapta Odang atau OSO kembali terpilih menjadi Ketua Umum Partai Hanura periode 2024-2029. 

"Oleh karena itu, saya mengusulkan KPU bisa memberikan fasilitasi dan hak kepada pendukung kolom kosong untuk berkampanye di Pilkada. Jadi KPU juga harus fasilitasi. Kalau KPU fasilitasi calon tunggal untuk berkampanye, mestinya fasilitasi yang sama juga bisa terhadap kolom kosong," kata dia.

"Karena ini kan dilakukan dengan misalnya alat peraga, iklan di media massa, cetak dan elektronik yang didesain, supaya KPU tidak dibilang partisan, serahkan saja kepada kelompok independen yang ditunjuk oleh KPU untuk mendesain materinya," sambung Titi.


Calon Tunggal Dinilai Berbahaya

Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memandang hadirnya calon tunggal dalam Pilkada merupakan gejala otoritarianisme politik. 

Menurut Amiruddin hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.

Begitu partai politik (parpol) atau sekumpulan parpol mengajukan calon tunggal, kata dia, maka dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.

Dengan melihat esensi tersebut, menurut dia calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.

"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amiruddin.

Selain itu, ia juga memandang calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan. 

Salah satu caranya, kata Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.

Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada. 

Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.

"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," kata Amiruddin.

"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut dia.

Ia juga memandang calon tunggal adalah upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan dilakukan banyak aktor.

Dalam ilmu politik, menurut dia, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.

"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata Amiruddin.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan