Rabu, 1 Oktober 2025

Pilpres 2024

Ubah Format Debat Capres-cawapres Dinilai Menambah Kecurigaan Publik ke KPU dan Kredilitas Pemilu

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan pun menilai, bahwa format debat Pilpres 2024 jelas merupakan kemunduran.

Istimewa
ilustrasi Pilpres. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memutuskan untuk mengubat format Debat/Cawapres pada Pemilihan Presiden 2024, berbeda dengan Pilpres 2019. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memutuskan untuk mengubat format Debat/Cawapres pada Pemilihan Presiden 2024, berbeda dengan Pilpres 2019.

Di mana, lima kali debat Pilpres 2024 terdiri atas tiga kali debat antar Capres dan dua kali antar Cawapres, semuanya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan Capres-Cawapres.

Tidak ada putaran debat secara terpisah yang khusus hanya dihadiri capres atau Cawapres seperti pada Pilpres 2019.

Dalam lima kali debat itu pasangan Capres-Cawapres selalu hadir bersamaan, hanya porsi berbicara yang dibedakan, tergantung sesi debat Pilpres yang sedang berlangsung, apakah debat Capres atau Debat Cawapres.

Pada acara debat Pilpres 2019, Debat diawali dengan sesi Pasangan Capres lengkap. Lalu pada tiga sesi berikutnya Debat Capres hanya dihadiri oleh Capres dan sesi Debat Cawapres hanya dihadiri oleh Cawapres.

Pada sesi pamungkas, debat Pilpres diikuti pasangan Capres-Cawapres.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan pun menilai, bahwa format debat Pilpres 2024 jelas merupakan kemunduran.

"Dari sisi hak konstitusional warga negara, publik dirugikan karena mereka tidak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik pada masing-masing kandidat pemimpin, baik Capres maupun Cawapres, sebelum rakyat menentukan pilihannya di bilik suara pada 14 Februari 2024," kata Halili kepada wartawan, Sabtu (2/12/2023).

Halili pun menyoroti hal yang lebih serius lagi yakni.KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka.

Kecurigaan demikian rasional, sebab keputusan KPU hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata.

Pertama, Putusan MK 90/2023 yang memberikan jalan bagi anak Presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang sebagai Calon Wakil Presiden bagi Calon Presiden Prabowo Subianto.

Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural Putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional (constitutional evil).

Kedua, putusan MKMK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK 'terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023', melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus Paman Cawapres Gibran.

Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi E-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi E-KTP.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved