Tidak Semua Orang Butuh! Susu Bukan Lagi Bagian 4 Sehat 5 Sempurna, Ini Penjelasan Dokter
Konsep “4 Sehat 5 Sempurna” yang menempatkan susu sebagai penyempurna makanan sudah tidak lagi relevan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebagian besar dari kita tumbuh dengan suara ibu atau guru yang berkata, “Minum susunya, biar sempurna makannya.”
Kalimat itu menempel dalam ingatan anak-anak Indonesia selama puluhan tahun.
Baca juga: Bedakan Alergi dan Intoleransi Susu, Jangan Salah Menanganinya
Susu dianggap pelengkap gizi, tanda kasih sayang, bahkan simbol kemakmuran.
Tapi apakah benar tubuh manusia butuh susu untuk menjadi sehat?
Dalam program Health Corner Sonora, Health Management Specialist Corporate HR Kompas Gramedia, dr. Santi, menegaskan bahwa konsep “4 Sehat 5 Sempurna” yang menempatkan susu sebagai penyempurna makanan sudah tidak lagi relevan dengan panduan gizi modern.
“Sekarang yang dipakai adalah Pedoman Gizi Seimbang, bukan 4 Sehat 5 Sempurna. Dalam pedoman baru, susu hanya menjadi salah satu sumber protein, bukan penyempurna makanan,” ujarnya dilansir dari kanal YouTube Sonora FM, Sabtu (4/10/2025).
Pernyataan itu mengubah cara pandang lama yang sudah mengakar di masyarakat.
Baca juga: Caca Tengker Ungkap Cara Hadapi Anak GTM dan Ogah Minum Susu
Dalam pedoman baru, keseimbangan bukan dicapai dengan menambah susu, tapi dengan menyusun piring makan yang beragam dan proporsional.
Separuh piring berisi buah dan sayur, sepertiga sisanya untuk sumber karbohidrat, dan sisanya protein baik dari hewan maupun nabati.
Susu, menurut dr. Santi, hanya salah satu opsi sumber protein dan kalsium.
“Kalau kebutuhan gizi sudah tercukupi dari makanan lain, susu tidak wajib diminum,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa minum susu tidak selalu cocok untuk semua orang.
Sebagian besar orang Asia memiliki kecenderungan tidak bisa mencerna laktosa, gula alami yang terdapat di dalam susu sapi.
“Antara 65 hingga 95 persen orang Asia mengalami intoleransi laktosa,” jelas dr. Santi.

Mereka yang memiliki kondisi ini bisa mengalami gejala seperti perut kembung, mual, begah, hingga diare setelah mengonsumsi susu.
Artinya, tubuh mereka tidak memiliki cukup enzim untuk memecah laktosa menjadi zat yang bisa diserap.
Meski demikian, banyak yang tetap memaksakan diri minum susu karena takut dianggap tidak sehat.
Sayangnya, banyak masyarakat yang masih menempatkan susu sebagai satu-satunya ikon kesehatan.
Anak yang tidak minum susu dianggap “tidak lengkap gizinya”, sementara orang dewasa yang berhenti minum susu dianggap “tidak peduli kesehatan”. Padahal, sehat tidak sesederhana itu.
Mindful eating mengajarkan kita untuk mendengar tubuh sendiri.
Bila perut terasa tidak nyaman, atau muncul gejala setelah minum susu, itu sinyal bahwa tubuh tidak menerimanya dengan baik.
Sama seperti hubungan manusia, tubuh pun butuh didengarkan. Tidak semua yang “baik” untuk orang lain cocok untuk kita.
Susu bisa tetap menjadi bagian dari pola makan sehat, selama tubuh nyaman dan tidak bereaksi negatif.
Tapi jika tidak cocok, jangan khawatir. Tubuh manusia punya banyak cara lain untuk tetap sehat.
“Kesehatan itu personal. Yang paling penting bukan ikut tren, tapi tahu apa yang dibutuhkan tubuh kita," tutupnya.
Tak Harus Susu, Ini Cara Lain Dapatkan Manfaat Kalsium
Padahal, ada banyak cara lain untuk mendapatkan manfaat serupa.
Kalsium bisa diperoleh dari sayuran hijau seperti bayam dan brokoli, ikan teri, tempe, atau kacang almond.
Protein bisa didapat dari telur, ayam, ikan, dan kacang-kacangan.

“Yang penting adalah variasi dan keseimbangan, bukan satu makanan tertentu,” tutur dr. Santi.
Susu memang kaya gizi. Kandungan kalsiumnya membantu menjaga tulang, proteinnya mendukung pertumbuhan otot, dan vitamin D-nya baik untuk metabolisme.
Namun, kesehatan tidak pernah bergantung pada satu bahan pangan saja.
Di sinilah pentingnya sikap mindful dalam memilih makanan, sadar akan kondisi tubuh, mengenali sinyal-sinyalnya, dan tidak menelan mentah-mentah klaim “superfood” yang banyak beredar di iklan.
Kita hidup di era ketika industri makanan berlomba-lomba menjual citra sehat.
Susu sering muncul dalam kemasan modern dengan janji “menambah energi”, “menjaga tulang”, hingga “membuat awet muda”.
Tapi tubuh manusia tidak sesederhana itu.
Setiap individu punya kebutuhan gizi berbeda.
Ada yang cocok dengan susu sapi, ada yang tidak.
Ada yang cukup dengan makan tempe, ikan, dan sayur, tanpa perlu minum susu sama sekali.
Perubahan pola pikir ini penting, terutama bagi orang tua.
Banyak yang merasa bersalah kalau anaknya tidak suka susu, seolah itu tanda kekurangan gizi.
Padahal, bila pola makannya baik dan seimbang, anak tetap bisa tumbuh optimal tanpa susu.
“Untuk anak-anak, susu bukan kebutuhan utama. Yang paling penting adalah ASI pada enam bulan pertama, dilanjutkan MPASI bergizi seimbang,” terang dr. Santi.
Ia juga menegaskan, susu bukan satu-satunya cara menjaga tulang tetap kuat.
Aktivitas fisik seperti berlari, bersepeda, dan bermain di luar rumah justru berperan lebih besar dalam menjaga kepadatan tulang.
Ditambah dengan paparan sinar matahari pagi, tubuh bisa memproduksi vitamin D alami yang membantu penyerapan kalsium.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.