Senin, 6 Oktober 2025

Kelangkaan Helium Global Bisa Ancam Layanan MRI di Indonesia

Krisis helium global mengancam pasokan untuk mesin MRI di Indonesia—layanan medis vital bisa terganggu jika kelangkaan tak segera diatasi.

Istimewa
KRISIS HELIUM - Radiolog dr. Yonathan William, Sp.Rad menjelaskan beri pemaparan dalam diskusi di Jakarta, Jumat (22/8/2025). Ia menyampaikan masalah krisis helium global yang bisa berpengaruh ke pemeriksaan MRI di Indonesia.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelangkaan helium secara global kini mulai berdampak nyata pada dunia kesehatan Indonesia, terutama terhadap layanan medis Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pasalnya, teknologi MRI masih sangat bergantung pada pasokan helium untuk menjaga suhu superkonduktor tetap rendah agar mesin berfungsi optimal.

Meningkatnya permintaan helium di berbagai sektor serta terbatasnya sumber daya alam membuat harga dan ketersediaan helium semakin tidak menentu. 

Situasi ini menambah beban rumah sakit di Indonesia yang sudah menghadapi tekanan biaya dan keterbatasan infrastruktur.

“Di Indonesia, permintaan pemeriksaan dengan MRI terus meningkat, namun rumah sakit menghadapi risiko besar akibat ketergantungan pada pengisian ulang helium," tutur dokter spesialis radiologi dr. Yonathan William, Sp.Rad, dalam pemaparan di Jakarta kemarin, dikutip Sabtu (22/8/2025).

"Tantangan pasokan global membuat kondisi ini tidak hanya mahal, tetapi juga tidak dapat diprediksi secara operasional,” jelas radiolog yang berpraktik di beberapa rumah sakit itu.

Kondisi ini menyoroti kerentanan sistem kesehatan nasional, terutama karena banyak fasilitas kesehatan masih menggunakan mesin MRI lama yang sepenuhnya bergantung pada helium. 

Pasokan pun tidak merata, karena akses helium umumnya lebih mudah dijangkau oleh rumah sakit besar di perkotaan, sementara fasilitas di daerah sering kali kesulitan.

Baca juga: Vape Dilarang di Singapura, Bagaimana Sebaiknya Indonesia? Ini Kata Pakar Kesehatan 

Sejumlah inovasi teknologi MRI kini mulai dikembangkan dengan desain bebas helium. 

Ada juga sistem yang hanya memerlukan volume helium minimal dan tidak membutuhkan pengisian ulang. 

Teknologi seperti ini dinilai berpotensi mengurangi risiko operasional sekaligus memperluas akses layanan pencitraan medis, khususnya di wilayah dengan keterbatasan logistik.

Namun, persoalan tidak berhenti pada teknologi. 

Dokter spesialis neurologi dr. Fritz Sumantri Usman, Sp.N, SubSp. NIIOO(K), FINS, FINA, kunci keberhasilan layanan MRI juga terletak pada kesiapan tenaga medis.

“Indonesia sangat membutuhkan lebih banyak sistem MRI untuk memenuhi permintaan pasien yang terus meningkat," kata dr. Fritz.

"Namun, teknologi saja tidak cukup. Radiolog dan teknisi terampil adalah kunci hasil diagnostik yang akurat,” tegasnya.

Krisis helium ini menjadi peringatan penting bagi sistem kesehatan Indonesia untuk mengevaluasi ketergantungan pada teknologi impor. 

Para ahli menilai, tanpa langkah strategis yang mencakup inovasi, kebijakan mitigasi, dan penguatan kapasitas sumber daya manusia, risiko gangguan layanan pencitraan medis akan terus membayangi. 

Padahal, di era pasca-pandemi, kebutuhan akan diagnosis yang cepat dan presisi semakin krusial bagi pasien di seluruh tanah air.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved