Jumat, 3 Oktober 2025

Kebocoran Ginjal pada Anak Kerap Tak Disadari, Bagaimana Itu Terjadi? Ini Dampak dan Penanganannya

Meski tergolong tidak umum, kebocoran ginjal atau sindrom nefrotik pada anak-anak bisa menimbulkan dampak yang sangat serius. 

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
freepik
ILUSTRASI. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski tergolong tidak umum, kebocoran ginjal atau sindrom nefrotik pada anak-anak bisa menimbulkan dampak yang sangat serius. 

Terutama jika gejalanya tidak tampak jelas sejak awal.

Kondisi ini, sering kali tidak disadari oleh orang tua karena beberapa kasus tidak menimbulkan gejala khas seperti bengkak. 

Hal ini diungkapkan oleh Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr Ahmedz Widiasta,Sp.A, Subsp.Nefro(K),M.Kes. 

Baca juga: Hemodiafiltrasi, Pilihan Terapi yang Lebih Nyaman dan Efektif untuk Pasien Gagal Ginjal Kronik

Padahal, jika tidak tertangani secara tepat, penyakit ini bisa berkembang menjadi penyakit ginjal kronik (PGK) yang membutuhkan terapi jangka panjang, termasuk cuci darah seumur hidup.

“Kalau yang bocornya sangat khas, yaitu sangat bengkak anaknya. Atau yang kita sebut tanda yang sangat klasik. Tetapi ada juga yang bocornya tidak khas. Itu justru yang lebih berbahaya,” ungkapnya dalam diskusi media virtual, Kamis (17/7/2025). 

Sindrom nefrotik ditandai dengan hilangnya protein melalui urin. 

Pada kasus khas, anak akan mengalami pembengkakan, terutama setelah bangun tidur. 

Namun gejala bisa menghilang di siang hari, membuatnya sering kali diabaikan. 

Yang tidak khas, justru bisa menyamar sebagai anak sehat, tapi urin mereka penuh busa akibat banyaknya protein yang ikut terbuang.

Kondisi ini berbahaya karena dapat menyebabkan cairan di pembuluh darah berpindah ke rongga tubuh lain, seperti perut, paru-paru, atau jantung. 

Hal ini dikenal dengan istilah volume depression, yang dapat menyebabkan syok hingga gagal ginjal akut.

Bahaya jangka pendek lainnya adalah gangguan pernapasan akibat tekanan dari cairan di rongga tubuh. 

Paru-paru yang tertekan tidak bisa mengembang dengan sempurna, membuat anak kesulitan bernapas.

Sementara bahaya jangka panjangnya adalah penyakit ginjal kronik. 

Dalam jangka waktu 2-5 tahun, proteinuria yang tidak tertangani dapat merusak struktur glomerulus di ginjal, dan akhirnya menyebabkan kerusakan permanen.

“Kami pernah melakukan suatu studi pada sebuah sekolah menengah atas di Jawa Barat. Dari 1.280 siswa, sebanyak 160 siswa, ada protein lolos dalam urin yang positif 2 atau positif 3. Padahal semuanya sehat,” jelas narasumber.

Hal itu menunjukkan bahwa 12 persen siswa yang tampak sehat ternyata menyimpan risiko serius di ginjalnya. 

Karena itu, penting bagi orang tua dan sekolah untuk melakukan penapisan dini. 

Salah satu metode yang sangat murah dan efektif adalah pemeriksaan urin rutin satu kali dalam setahun.

“Kitnya ini hanya 800 rupiah per anak satu tahun. Saya rasa sangat jauh lebih murah daripada kita membayar biaya obat-obatan yang mahal,” katanya. 

Tak hanya pencegahan primer, deteksi dini juga mencegah sindrom nefrotik berkembang menjadi resisten terhadap obat. 

Pasalnya, sebagian kecil anak, sekitar 20 persen tidak mempan terhadap terapi steroid yang umumnya diberikan.

Ada pula yang awalnya merespons obat, namun karena terapi yang tidak konsisten, seperti menghentikan pengobatan tanpa anjuran dokter, akhirnya kondisi anak menjadi resisten.

“Padahal, hal itu sangat tidak benar. Dan itu sangat berpotensi menyebabkan perubahan bentuk menjadi yang resisten steroid atau yang tidak mempan terhadap obat,” ujarnya. 

Dengan penanganan yang tepat, sindrom nefrotik bisa dikendalikan tanpa perlu menguras biaya besar. 

Namun dibutuhkan kolaborasi antara dokter, orang tua, sekolah, dan pemerintah. 

Terlebih saat ini belum ada kebijakan yang mendorong BPJS untuk menanggung klaim skrining dini.

“Kalau saya menyarankan, kita seharusnya ada klaim khusus untuk screening. Karena screening ini akan jauh lebih murah daripada kalau sudah kuratif atau pengobatan,” tutupnya.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved