Senin, 6 Oktober 2025

Virus Corona

Kemenkes Imbau Masyarakat Waspadai Malaria saat Pandemi Corona, Ini Penjelasannya

dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penyakit malaria memiliki beberapa gejala yang mirip dengan virus corona.

Penulis: Nuryanti
Editor: bunga pradipta p
Tribunnews.com/Apfia Tioconny Billy
Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi 

TRIBUNNEWS.COM - Bertepatan di Hari Malaria Sedunia pada 25 April, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan imbauan kepada masyarakat agar waspada.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian penyakit Tular Vektor dan Zoonosis, dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penyakit malaria memiliki beberapa gejala yang mirip dengan virus corona.

Adapun beberapa gejala yang mirip tersebut yakni demam, sakit kepala, dan nyeri otot.

Nadia menyebut, penyakit malaria akan semakin memperberat kondisi seseorang yang juga terinfeksi virus corona.

“Penderita malaria dapat terinfeksi penyakit lainnya termasuk Covid-19,” ujarnya di Gedung Kemenkes, Jakarta, Sabtu (25/4/2020), dikutip dari laman resmi sehatnegeriku.kemkes.go.id.

Penyebaran virus corona saat ini sudah meluas hingga ke daerah endemis malaria, terutama di bagian Timur Indonesia seperti NTT, Maluku, dan Papua.

Baca: Cerita Kajari Bantul yang Sembuh dari Corona, Alami Gejala Mirip Malaria hingga Sesak Napas Hebat

Kemenkes mengatakan, prosedur layanan malaria agar tidak terjadi peningkatan kasus saat pandemi corona, maka mengacu pada protokol pencegahan Covid-19.

Petugas yang melakukan layanan malaria diwajibkan menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar protokol pencegahan corona.

Bagi masyarakat harus tetap mengutamakan jaga jarak fisik, memakai masker, dan cuci tangan dengan sabun.

Selain itu, menghindari kerumunan lebih dari 5 orang, serta jangan lupa menggunakan kelambu untuk menghindari gigitan nyamuk.

Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi
Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi (Tribunnews.com/Apfia Tioconny Billy)

Saat pendemi virus corona, pemeriksaan diagnostik malaria dilakukan dengan Tes Cepat (RDT).

Pasien dapat segera diberikan pengobatan bila hasil pemeriksaan RDT positif.

Pembuatan sediaan darah tetap dilakukan untuk konfirmasi hasil RDT dan evaluasi pengobatan Malaria.

Menurut Nadia, penyakit malaria harus diobati dengan obat yang sesuai aturan.

“Ingat Klorokuin yang digunakan saat pandemi Covid-19 bukan obat Malaria lagi.

"Sehingga bila sakit Malaria minum Obat Anti Malaria sesuai aturan," terangnya.

"Untuk itu perencanaan kebutuhan logistik terutama RDT dan obat anti malaria (OAM) disiapkan mencukupi sampai 2-3 bulan ke depan di fasilitas Pelayanan Kesehatan,” jelas dia.

Baca: Pohon Kina, Tanaman Herbal yang Miliki Banyak Manfaat, Mengobati Malaria hingga Jantung

Petugas dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota wajib memantau dan mengantisipasi layanan malaria pada saat diberlakukan pembatasan sosial atau karantina wilayah.

Malaria merupakan penyakit menular yang berdampak kepada penurunan kualitas sumber daya manusia.

Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi, bahkan berpengaruh terhadap ketahanan nasional.

“Penyebaran malaria tidak mengenal batas wilayah administrasi, maka membebaskan masyarakat dari malaria (eliminasi malaria) memerlukan komitmen global, regional dan nasional,” ujar Nadia.

Pemerintah mentargetkan pada 2024 sebanyak 405 kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria.
Periode 2020-2024 merupakan periode penting dan menentukan dalam upaya mencapai Indonesia Bebas Malaria Tahun 2030.

Upaya pencapaian target Eliminasi Malaria Nasional tahun 2030, didahului dengan tahapan pencapaian daerah bebas malaria tingkat provinsi, setelah seluruh kabupaten/kota mencapai daerah bebas malaria.

“Dalam wilayah regional Jawa-Bali sebagian besar kabupaten/kota telah mencapai Eliminasi Malaria,” imbuh Nadia.

Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi (kanan)
Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi (kanan) (Tribunnews.com/ Apfia Tioconny Billy)

Klorokuin Bukan Obat Malaria

Sebelumnya, Nadia mengatakan, klorokuin sudah tidak lagi digunakan untuk pengobatan malaria.

Ia khawatir masyarakat akan menggunakan klorokuin untuk pengobatan Covid-19 secara berlebihan.

"Nanti otomatis kalau dia minum klorokuin karena dugaan awalnya Covid-19 tapi sebenarnya penyakitnya malaria, pasti demamnya akan turun sedikit tapi malarianya enggak keobati, malah akan menjadi resisten malaria," ujarnya, Jumat (3/4/2020), dikutip dari laman resmi kemkes.go.id.

Obat untuk pasien Covid-19, tidak bisa hanya klorokuin saja, tapi harus dibarengi obat lain seperti oseltamivir.

Klorokuin sudah tidak lagi digunakan sebagai obat malaria, karena terjadi resistensi terhadap penyakit tersebut.

Baca: Para Ahli Temukan Obat Virus Corona, Ternyata Mirip Obat Anti-malaria

Klorokuin sudah tidak masuk ke dalam pengobatan malaria, artinya klorokuin masih digunakan untuk obat-obat dengan penyakit lupus.

"Jadi memang ini yang menjadi konsen kami, walaupun klorokuin masih ada dalam jumlah terbatas, tapi memang sudah peruntukannya untuk penyakit lupus, dan berbeda dosisnya dengan pengobatan malaria," jelas Nadia.

Obat malaria yang digunakan saat ini adalah Dihidroartemisinin piperakuin (DHP) dengan Primakuin.

Pada 2011 Badan POM sudah menyepakati klorokuin tidak lagi digunakan untuk pengobatan malaria.
Bahkan pada leaflet klorokuin sudah dinyatakan indikasinya tidak untuk malaria.

(Tribunnews.com/Nuryanti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved