Selasa, 7 Oktober 2025

Sanae Takaichi, Wanita Besi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang, Eks Drummer Heavy Metal

Sanae Takaichi, mantan drummer heavy metal, dipilih jadi Perdana Menteri perempuan pertama Jepang.

Mainichi
PM PEREMPUAN PERTAMA JEPANG - Sanae Takaichi dipilih sebagai Perdana Menteri baru Jepang, Sabtu (4/10/2025). Ia berasal dari partai konservatif di Jepang, Partai Demokrat Liberal (LDP) yang didominasi laki-laki. Takaichi bakal disahkan oleh parlemen Jepang pada 15 Oktober 2025 mendatang. 

TRIBUNNEWS.com - Sanae Takaichi (64) dipilih sebagai Perdana Menteri baru Jepang, mengalahkan rivalnya, Shinjiro Koizumi (44), di putaran kedua, Sabtu (4/10/2025).

Takaichi berasal dari partai konservatif di Jepang, Partai Demokrat Liberal (LDP) yang didominasi laki-laki.

Dipilihnya Takaichi ini otomatis menjadikannya Perdana Menteri perempuan pertama di negera matahari terbit itu, berbarengan dengan ia menjadi pemimpin LDP.

"Sekarang LDP memiliki presiden perempuan pertamanya, situasinya akan sedikit berubah," katanya, Sabtu, dilansir AP.

Takaichi hampir pasti bakal disahkan oleh parlemen pada 15 Oktober 2025 sebagai Perdana Menteri kelima Jepang dalam lima tahun terakhir.

Si 'Wanita Besi' Mantan Drummer

Sanae Takaichi lahir di Prefektur Nara pada 1961.

Baca juga: Sanae Takaichi, Wanita yang Digadang Jadi PM Jepang, Siap Tulis Babak Baru Dalam Sejarah LDP

Ayahnya Takaishi adalah seorang pekerja kantoran, sedangkan sang ibu berprofesi sebagai polisi.

Politik sangat jauh dari masa kecil Takaichi yang termasuk perempuan tomboy.

Ia menikmati aktivitas scuba, penyuka otomotif, hingga mantan drummer band heavy metal.

Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai pembawa acara televisi, meski hanya sebentar.

Mobil kesayangan Takaichi, Toyota Supra, kini dipajang di sebuah musem di Nara.

Dikutip dari BBC, Takaichi dulunya dikenal suka membawa banyak stik drum karena ia akan mematahkannya saat bermain drum secara intens.

Takaichi adalah lulusan Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Kobe dan melanjutkan studi ke Institut Pemerintahan dan Manajemen Matsushita.

Karier politiknya berawal pada 1980-an saat terjadi puncak ketegangan Amerika Serikat (AS)-Jepang.

Saat itu ia memutuskan bekerja di kantor Patricia Shcroeder, anggota kongres dari Partai Demokrat yang dikenal karena kritiknya terhadap Jepang, untuk memahami persepsi AS tentang negeri sakura.

Pada 1992, ia ikut pemilihan parlemen pertamanya sebagai independen, tapi gagal.

Setahun kemudian, Takaichi berhasil lolos dengan daerah pemilihan di kampung halamannya, Nara.

Ia baru bergabung dengan LDP pada 1996.

Sejak saat itu, ia telah terpilih menjadi anggota parlemen sebanyak sembilan kali dan kalah sekali, dikutip dari japan.kantei.go.jp.

Selama karier politiknya, Takaichi berhasil membangun reputasinya sebagai salah satu suara konservatif partai yang paling lantang.

Sejumlah jabatan strategis di lingkungan pemerintahan Jepang, sudah pernah diembannya, yaitu:

  • Menteri Negara untuk Kebijakan Sains dan Teknologi;
  • Menteri Negara untuk Inovasi;
  • Menteri Negara untuk Urusan Okinawa dan Wilayah Utara;
  • Menteri Negara untuk Kesetaraan Gender;
  • Menteri Negara untuk Urusan Sosial dan Keamanan Pangan;
  • Menteri Negara Ekonomi, Perdagangan, dan Industri;
  • Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi;
  • Menteri Negara untuk Sistem Nomor Jaminan Sosial dan Pajak;
  • Menteri yang bertanggung jawab atas Keamanan Ekonomi;
  • Menteri Negara untuk Strategi Kekayaan Intelektual;
  • Menteri Negara untuk Kebijakan Sains dan Teknologi;
  • Menteri Negara untuk Kebijakan Antariksa;
  • Menteri Negara untuk Keamanan Ekonomi;
  • Menteri Negara untuk Strategi Jepang.

Di LDP, ia juga dipercaya menduduki jabatan penting, di antaranya:

  • Ketua Markas Besar Hubungan Masyarakat LDP;
  • Ketua Dewan Riset Kebijakan LDP;
  • Ketua Markas Besar untuk Langkah-Langkah Keamanan Siber LDP.

Tahun 2025 menjadi tahun ketiga Takaichi berkompetisi menjadi pemimpin LDP dan berhasil terpilih.

Pencapaian ini pun menempatkan Takaichi di jalur yang tepat untuk menjadi Perdana Menteri perempuan pertama Jepang, setelah parlemen mengonfirmasi pengangkatannya pada 15 Oktober 2025 nanti.

"Tujuan saya adalah menjadi Wanita Besi," katanya kepada sekelompok anak sekolah selama kampanye terbarunya.

Selain sebagai politisi, Takaichi juga sempat menjadi dosen dan mengajar di Nihon Junior College of Economics, serta menjadi profesor Fakultas Ekonomi Universitas Kinki.

Seorang Konservatif yang Gigih

Sanae Takaichi adalah seorang konservatif yang gigih.

Ia sejak lama menentang undang-undang yang mengizinkan perempuan yang sudah menikah untuk tetap menggunakan nama gadis mereka, bersikeras bahwa hal itu merusak tradisi.

Takaichi juga menentang pernikahan sesama jenis.

Namun, belakangan ini ia melunakkan nada bicaranya. Selama kampanye, ia berjanji untuk menjadikan biaya pengasuh anak sebagian dapat dikurangkan dari pajak dan mengusulkan keringanan pajak perusahaan bagi perusahaan yang menyediakan layanan pengasuhan anak di tempat.

Keluarga dan pengalaman pribadinya mendukung usulan kebijakannya: memperluas layanan rumah sakit untuk kesehatan wanita, memberikan pengakuan yang lebih besar kepada pekerja pendukung rumah tangga, dan meningkatkan pilihan perawatan bagi masyarakat lanjut usia di Jepang.

"Saya secara pribadi telah mengalami keperawatan dan pengasuhan tiga kali dalam hidup saya," ujarnya.

"Itulah sebabnya tekad saya semakin kuat untuk mengurangi jumlah orang yang terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka karena mengasuh, membesarkan anak, atau anak-anak menolak bersekolah."

"Saya ingin menciptakan masyarakat di mana orang tidak harus meninggalkan karier mereka."

Sebagai anak didik mendiang Shinzo Abe, ia berjanji untuk menghidupkan kembali visi ekonomi "Abenomics" berupa belanja publik yang tinggi dan pinjaman murah.

Takaichi telah menjadi pengunjung rutin Kuil Yasukuni yang kontroversial, yang menghormati para pahlawan perang Jepang, termasuk penjahat perang yang dihukum.

Ia juga menyerukan pelonggaran pembatasan konstitusional terhadap Pasukan Bela Diri negara tersebut, yang dilarang memiliki kemampuan ofensif.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved