Profil dan Sosok
Profil Tony Blair yang Ditunjuk Jadi Pemimpin Transisi Gaza, Kekayaannya Capai Rp 900 Miliar
Tony Blair, mantan PM Inggris, ditunjuk calon pemimpin transisi Gaza; hartanya fantastis, menembus Rp900 miliar dari politik dan investasi global.
TRIBUNNEWS.COM - Rencana kontroversial Gedung Putih kembali menjadi sorotan usai menunjuk mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, untuk memimpin pemerintahan transisi sementara di Jalur Gaza.
Blair digadang-gadang akan memimpin sebuah badan bernama Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA), yang berperan sebagai otoritas politik dan hukum tertinggi di wilayah tersebut selama lima tahun.
Menurut laporan media lokal Times of Israel, rencana ini meniru model pemerintahan transisi di Timor-Leste dan Kosovo, yang sebelumnya dikelola oleh komunitas internasional sebelum memperoleh status kenegaraan.
Lokasi awal Gita akan ditempatkan di El-Arish, Mesir, sebelum masuk ke Gaza dengan dukungan pasukan multinasional yang mayoritas berasal dari negara-negara Arab serta mendapatkan mandat dari PBB.
Jika rencana ini disepakati, Blair akan mengawasi pemerintahan eksekutif di Gaza, memimpin sekretariat dengan 25 anggota serta dewan beranggotakan tujuh orang mencakup perwakilan Palestina, pejabat senior PBB, tokoh internasional berpengalaman, serta perwakilan kuat dari negara-negara Muslim.
Dalam deklarasi itu, pemerintahan teknokratis akan memimpin Gaza hanya selama satu tahun sebelum menyerahkan kendali kepada Otoritas Palestina yang direformasi.
Siapa Tony Blair?
Tony Blair, lahir pada 6 Mei 1953 di Edinburgh, Skotlandia, dikenal sebagai salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Inggris pada penghujung abad ke-20 hingga awal abad ke-21.
Perjalanannya menuju panggung politik internasional dimulai sejak masa muda. Blair aktif dalam dunia musik rock dan gerakan politik mahasiswa, yang kemudian membentuk citra dirinya sebagai pemimpin dengan gaya karismatik.
Baca juga: Tony Blair Diusulkan Jadi Pemimpin Sementara Gaza, Trump Sampaikan ke Prabowo Cs
Setelah menyelesaikan studi pada 1975, Blair berkarier sebagai pengacara di London.
Di kota ini pula ia bertemu dengan Cherie Booth, seorang pengacara sukses yang kemudian menjadi istrinya.
Kehidupan profesional Blair di bidang hukum menjadi landasan awal sebelum ia terjun ke politik praktis.
Karier politik Blair dimulai ketika bergabung dengan Partai Buruh pada akhir 1970-an.
Ia meraih kursi parlemen pada 1983 mewakili daerah pemilihan Sedgefield dalam usia yang relatif muda.
Langkah itu menjadi titik tolak menuju puncak karier politiknya, hingga akhirnya ia dipercaya memimpin Inggris sebagai Perdana Menteri dari 1997 sampai 2007.
Blair bukan sosok asing dalam diplomasi Timur Tengah. Pada 2007, ia ditunjuk sebagai utusan khusus Kuartet Timur Tengah – gabungan PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Rusia – dengan mandat mendorong perdamaian Israel–Palestina. Ia menjabat hingga 2015.
Namun, rekam jejaknya tidak lepas dari kontroversi. Keputusan Blair mendukung invasi Irak pada 2003 bersama Amerika Serikat memicu kecaman luas dan masih membayanginya hingga kini.
Hartanya Tembus Rp 900 Miliar
Selain kiprahnya di dunia politik, Blair juga membangun imperium bisnis yang membuatnya masuk jajaran elite global.
Kekayaan Blair semakin bertambah melalui jaringan bisnis global, termasuk keterlibatan dalam sektor energi, keuangan, dan teknologi, baik melalui dewan direksi maupun kemitraan strategis yang menghasilkan keuntungan berkelanjutan.
Melalui lembaga konsultan, investasi properti, dan jaringan bisnis internasional, hartanya diperkirakan menembus 60 juta dolar atau setara dengan Rp900 miliar.
Jumlah ini menempatkannya di lingkaran kecil figur dunia yang memiliki pengaruh besar, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Penunjukan Blair sebagai kandidat pemimpin pemerintahan transisi Gaza yang tengah digagas Gedung Putih disebut masih sebatas wacana.
Namun, wacana ini sudah memicu perdebatan luas. Sebagian pihak menilai jejaring internasional Blair dapat memberi stabilitas di wilayah yang dilanda konflik berkepanjangan.
Lantaran dengan kekayaan dan jejaring yang sedemikian luas, Tony Blair bukan hanya dikenal sebagai politisi berpengalaman, tetapi juga sebagai tokoh yang memiliki pengaruh signifikan dalam berbagai arena internasional.
Sebaliknya, kritik keras datang dari mereka yang mengingat kembali perannya dalam perang Irak, yang dianggap merusak kredibilitasnya sebagai mediator.
Jika wacana itu terwujud, Blair akan menghadapi salah satu misi tersulit dalam kariernya, lantaran harus membangun kembali Gaza pasca perang, menjembatani kepentingan Israel dan Palestina, serta menavigasi geopolitik Timur Tengah yang semakin memanas.
Tantangan besar ini akan menentukan apakah Blair dapat menghapus jejak kontroversi masa lalunya, atau justru menambah catatan panjang perdebatan seputar peranannya di panggung dunia.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.