Konflik Palestina Vs Israel
Pemimpin Palestina Akan Pidato Virtual di PBB meski Ditentang AS, 3 Hari usai Pengakuan Negara Barat
Majelis Umum PBB dengan suara mayoritas memilih untuk mengizinkan Mahmoud Abbas berpidato melalui pesan video.
TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas akan berpidato di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara virtual pada Kamis (25/9/2025) waktu setempat.
Presiden Otoritas Palestina veteran berusia 89 tahun itu akan berpidato di hadapan Majelis Umum PBB tiga hari setelah sejumlah negara Barat mengakui negara Palestina.
Selain itu, Mahmoud Abbas dijadwalkan berpidato virtual di PBB meskipun Amerika Serikat (AS) menentangnya.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump dengan tegas menolak status kenegaraan Palestina.
Bahkan, AS melarang Mahmoud Abbas dan para pembantu seniornya bepergian ke New York untuk menghadiri pertemuan tahunan para pemimpin dunia.
Namun, Majelis Umum PBB dengan suara mayoritas memilih untuk mengizinkan Mahmoud Abbas berpidato di hadapan badan dunia tersebut melalui pesan video.
Dilansir Arab News, Otoritas Palestina pimpinan Abbas menikmati kendali terbatas atas sebagian wilayah Tepi Barat berdasarkan perjanjian yang dicapai melalui perjanjian damai Oslo yang dimulai pada tahun 1993.
Fatah pimpinan Abbas adalah saingan Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, meskipun pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berusaha untuk menggabungkan keduanya.
Abbas, dalam pidatonya pada Senin (22/9/2025), mengutuk serangan besar-besaran pada 7 Oktober 2023 oleh Hamas terhadap Israel, yang telah merespons dengan serangan militer tanpa henti.
Prancis dan kekuatan Eropa lainnya, meskipun tidak bergabung dengan upaya Israel dan AS untuk mendelegitimasi Otoritas Palestina, telah menyatakan bahwa Otoritas Palestina membutuhkan reformasi besar.
AS Blokir Pemimpin Palestina Hadiri Pertemuan PBB
Diberitakan BBC, Presiden Palestina Mahmoud Abbas diblokir untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York, setelah ia dan 80 pejabat Palestina lainnya visanya dicabut, kata Departemen Luar Negeri AS.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyalahkan mereka karena merusak upaya perdamaian dan mencari "pengakuan sepihak terhadap negara Palestina yang bersifat dugaan".
Baca juga: Eks Intelijen Saudi Yakin Trump Mampu Tekan Zionis Akhiri Perang Gaza: Israel Curi Tanah Palestina
Keputusan tersebut, yang disambut baik oleh Israel, tidak biasa karena AS diharapkan memfasilitasi perjalanan bagi pejabat dari semua negara yang ingin mengunjungi markas besar PBB.
Larangan itu muncul saat Prancis memimpin upaya internasional untuk mengakui negara Palestina di sesi tersebut - sebuah langkah yang ditentang oleh pemerintahan Donald Trump.
Rubio mengatakan, perwakilan Palestina di misi PBB di New York dapat menghadiri pertemuan sesuai dengan Perjanjian Markas Besar PBB - dokumen yang mengatur masalah mengenai operasi PBB di AS.
Namun, tidak jelas apakah langkah AS untuk menolak atau mencabut visa mematuhi dokumen tersebut, yang menggarisbawahi bahwa kehadiran pejabat asing di New York tidak boleh dihalangi oleh AS, "terlepas dari hubungan" antara pemerintah masing-masing negara dan AS.
Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, sebelumnya mengatakan bahwa sebagai kepala delegasinya, Abbas akan menghadiri pertemuan para kepala negara dan pemerintahan.
Namun, seorang pejabat Departemen Luar Negeri kemudian mengatakan Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya akan terpengaruh oleh keputusan untuk menolak dan mencabut visa dari anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA).
Kantor Abbas menyatakan terkejut dengan keputusan visa tersebut, yang "jelas bertentangan dengan hukum internasional dan Perjanjian Markas Besar PBB, terutama karena Negara Palestina adalah anggota pengamat Perserikatan Bangsa-Bangsa".
Pengakuan Negara Barat
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan negaranya secara resmi mengakui negara Palestina di aula Majelis Umum PBB, New York, Amerika Serikat (AS), Senin (22/9/2025).
Pada Minggu (21/9/2025), empat negara Barat yakni Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal juga telah mengakui negara Palestina.
Sementara, Inggris, Kanada, dan Australia mengakui negara Palestina menjelang Sidang Umum PBB bulan ini.
Adapun pengumuman Prancis itu disambut tepuk tangan meriah dari lebih dari 140 pemimpin yang hadir di PBB.
Delegasi Palestina, termasuk duta besarnya untuk PBB, Riyad Mansour, terlihat berdiri dan bertepuk tangan saat deklarasi tersebut diucapkan.
Baca juga: Netanyahu ke New York, Kecam Negara-negara yang Mengakui Negara Palestina

Macron juga mengumumkan bahwa Prancis akan membuka kedutaan besar untuk Negara Palestina setelah semua sandera di Gaza dibebaskan dan gencatan senjata dicapai.
Setelah resmi mengakui Negara Palestina, Macron mendesak diakhirinya segera perang di Gaza, dengan menyatakan bahwa “waktunya perdamaian telah tiba.”
Berbicara pada pembukaan konferensi internasional tingkat tinggi tentang penerapan solusi dua negara, Macron mengatakan saatnya telah tiba bagi Israel dan Palestina “untuk hidup berdampingan secara damai dan aman.”
"Namun, saat ini, Israel justru memperluas operasi militernya di Gaza, dengan tujuan menghancurkan Hamas," kata Macron, mengecam serangan yang sedang berlangsung, dikutip dari Al Arabiya.
Adapun Hamas telah menguasai Jalur Gaza selama bertahun-tahun, sementara rivalnya, Fatah, berkuasa di Tepi Barat.
Namun, bahkan di Tepi Barat, Otoritas Palestina (PA), yang dipimpin Abbas, kesulitan memerintah, berhadapan dengan kelompok-kelompok saingan dan perluasan permukiman Yahudi.
Abbas juga memimpin PLO - organisasi induk yang mewakili Palestina di forum internasional.
Baca juga: Mesir Latih Pasukan Keamanan Palestina, Rekrut 10.000 Anggota di Akademi Militer
Pada tahun 1974, PBB memberikan suara untuk mengakui PLO sebagai "satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina" dan diberi status pengamat di Majelis Umum PBB, tetapi bukan sebagai negara.
Pada 2012, Majelis Umum memberikan suara mayoritas untuk meningkatkan status ini, dengan mengakui Palestina sebagai negara pengamat tetap non-anggota.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terus-menerus menolak gagasan solusi dua negara—formula internasional yang telah lama digunakan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun.
Solusi ini membayangkan pembentukan negara Palestina merdeka di samping Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.