Minggu, 5 Oktober 2025

Konflik Palestina Vs Israel

142 Suara di PBB Dukung Deklarasi Solusi 2 Negara, Israel dan AS Menolak

Majelis Umum PBB gelar voting deklarasi solusi 2 negara pada hari Jumat. Israel-AS menolak deklarasi yang diusulkan Prancis-Arab Saudi itu.

Foto PBB/Loey Felipe
SOLUSI DUA NEGARA - Foto diambil dari website resmi United Nations, Sabtu (13/9/2025). Majelis Umum PBB memberikan suara untuk mendukung “Deklarasi New York,” sebuah resolusi yang berupaya memberikan napas baru bagi solusi dua negara antara Israel dan Palestina pada hari Jumat (12/9/2025). 

TRIBUNNEWS.COM - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pemungutan suara untuk resolusi yang menguraikan langkah-langkah yang mendukung solusi dua negara untuk Palestina dan Israel pada hari Jumat (12/9/2025).

Resolusi tersebut berjudul "Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara" yang diajukan oleh Arab Saudi dan Prancis, serta telah mendapat persetujuan Liga Arab dan 17 negara anggota PBB.

Resolusi itu mendapat 142 suara mendukung, 10 suara menolak, dan 12 suara abstain.

Isi resolusi yang didukung oleh Majelis Umum PBB itu di antaranya mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza dan serangan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Dokumen tersebut juga menyerukan diakhirinya kekuasaan Hamas di Jalur Gaza dan menyerahkan senjata mereka kepada Otoritas Palestina (PA).

“Dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina, dengan keterlibatan dan dukungan internasional, sejalan dengan tujuan Negara Palestina yang berdaulat dan merdeka," bunyi resolusi itu, seperti dikutip oleh Arab News.

Mereka juga mengutuk pemblokiran jalur masuk dan pengepungan Jalur Gaza oleh Israel yang mengakibatkan kelaparan parah dan kematian.

“Kami juga mengecam serangan Israel terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil di Gaza serta ‘pengepungan dan kelaparan yang telah mengakibatkan bencana kemanusiaan yang dahsyat dan krisis perlindungan,’” lanjutnya.

Tak hanya itu, resolusi tersebut juga mendukung normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

Duta Besar Prancis untuk PBB, Jerome Bonnafont, yang mengajukan resolusi tersebut, menggambarkannya sebagai peta jalan tunggal untuk mewujudkan solusi dua negara.

Ia juga menyoroti pentingnya gencatan senjata segera dan pembebasan sandera di Jalur Gaza.

Baca juga: PM Israel Netanyahu Setujui Proyek E1 di Tepi Barat: Tak Ada Negara Palestina

Pemungutan suara pada hari Jumat dilakukan menjelang pertemuan puncak PBB yang diketuai oleh Arab Saudi dan Prancis pada 22 September mendatang.

Pada hari Jumat, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan deklarasi itu adalah langkah yang tak dapat diubah menuju perdamaian.

Sebelumnya, Macron berjanji akan mengakui negara Palestina secara resmi dalam pertemuan itu, seperti diberitakan Al Jazeera.

Israel dan AS Menolak Resolusi PBB

Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS), menolak resolusi yang diajukan oleh Arab Saudi dan Prancis di PBB pada hari Jumat.

Argentina, Hongaria, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay, dan Tonga bergabung dengan Israel dan Amerika Serikat dalam menentang resolusi tersebut.

"Israel dengan tegas menolak resolusi Majelis Umum PBB," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Oren Marmorstein, di platform media sosial X pada hari Jumat.

Ia menyebutnya sebagai keputusan yang memalukan dan menuduh PBB sebagai sirkus politik yang terpisah dari kenyataan.

Juru bicara itu menyalahkan Hamas yang menolak untuk menyerahkan senjatanya.

"Puluhan pasal dalam deklarasi yang disetujui (...) tidak memuat referensi apa pun terhadap fakta sederhana bahwa Hamas bertanggung jawab penuh atas berlanjutnya perang, dengan menolak memulangkan sandera dan melucuti senjata," katanya.

"Resolusi tersebut tidak mempromosikan solusi damai, melainkan mendorong Hamas untuk melanjutkan perang," tuduhnya, seperti diberitakan Al Jazeera.

Penasihat delegasi AS di Majelis Umum PBB, Morgan Ortagus, menentang keras resolusi tersebut dan menyebutnya sebagai aksi publisitas yang salah arah.

Menurutnya resolusi itu menguntungkan Hamas dan merusak upaya diplomatik yang sesungguhnya.

AS juga keberatan karena deklarasi masih menyebut soal “hak kembali” (right of return) pengungsi Palestina, yang menurut mereka bisa mengancam keberadaan Israel sebagai negara Yahudi.

"Resolusi ini merupakan hadiah bagi Hamas," ujar Ortagus, seraya menambahkan bahwa melucuti senjata Hamas dan membebaskan sandera adalah kunci untuk mengakhiri perang. 

Ia mendesak negara-negara lain untuk bergabung dengan AS dalam menentang deklarasi tersebut.

Negara-negara Arab Sambut Resolusi Itu

Berbeda dengan Israel, AS, dan delapan negara lainnya, negara-negara Arab menyambut baik pemungutan suara Majelis Umum PBB pada hari Jumat.

Mereka menyebutnya sebagai langkah penting menuju berakhirnya pendudukan Israel atas Palestina.

"Saya menyambut baik adopsi rancangan resolusi yang mendukung Deklarasi New York tentang implementasi solusi dua negara dan pembentukan negara Palestina yang merdeka oleh Majelis Umum PBB," ujar Wakil Presiden Palestina Hussein al-Sheikh melalui platform X.

"Resolusi ini menyatakan keinginan internasional untuk mendukung hak-hak rakyat kami dan merupakan langkah penting menuju berakhirnya pendudukan dan berdirinya negara merdeka kami berdasarkan garis tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya," lanjutnya.

Organisasi Kerjasama Islam (OIC) menyambut baik pengesahan deklarasi oleh Majelis Umum PBB dan menyerukan agar semua negara segera melaksanakan langkah-langkah dalam deklarasi tersebut. 

Dukungan ini termasuk pengakuan penuh atas Negara Palestina dan dukungan agar Palestina menjadi anggota penuh PBB, seperti diberitakan Arab News.

Mesir dan Yordania secara umum juga mendukung langkah-langkah yang disebutkan dalam deklarasi untuk solusi dua negara.

Update Serangan Israel di Jalur Gaza

Setidaknya 64.756 warga Palestina terbunuh dan 164.059 lainnya terluka dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza pada hari Jumat.

Selain itu, jumlah korban tewas ketika mencari bantuan mencapai lebih dari 2.479 orang, dengan lebih dari 18.091 lainnya terluka sejak 27 Mei.

Sementara dilaporkan 413 orang meninggal dunia karena kelaparan, termasuk 143 anak-anak, akibat pemblokiran jalur masuk bantuan dan pengepungan Israel terhadap Jalur Gaza, lapor Anadolu Agency.

Hingga saat ini Israel masih melanjutkan serangannya di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.

Israel menyalahkan kelompok Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), yang meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, yang dianggap sebagai penyebab serangan brutal Israel di Jalur Gaza.

Pada hari itu, Hamas bersama kelompok perlawanan lainnya berhasil membobol pertahanan di Israel selatan dan menahan sekitar 250 orang. 

Menurut pernyataan Hamas, Operasi Banjir Al-Aqsa merupakan perlawanan terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina sejak 1948 dan upaya perebutan kompleks Masjid Al-Aqsa.

Sejak November 2023 hingga Januari 2025 terjadi beberapa kali pertukaran tahanan, dan pemerintah Israel mencatat ada sekitar 50 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

Sebagai balasan operasi militer Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel menutup seluruh jalur masuk dan melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza.

Selain itu, Israel mengusir warga Palestina dari wilayah mereka karena pengeboman dan operasi darat.

Ketika krisis kemanusiaan semakin memburuk dan tekanan internasional, Israel dan AS membentuk Gaza Humanitarian Foundation (GHF) pada bulan Mei untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Gaza.

GHF beroperasi di Rafah, Tal al-Sultan, Saudi Neighbourhood, Khan Younis, dan Wadi Gaza.

Namun, Israel dilaporkan menembaki warga Palestina yang berupaya mencari bantuan di pos GHF.

Selain meluncurkan serangan udara pada awal September, Israel meluncurkan operasi militer besar untuk merebut Kota Gaza yang dianggap sebagai basis pertahanan Hamas.

Tak hanya menargetkan Jalur Gaza, Israel memperluas operasi militernya dengan menargetkan para pemimpin Hamas di luar negeri termasuk di Qatar.

Israel mengebom sebuah gedung di Qatar yang disebutnya sebagai markas para pemimpin Hamas.

Para pemimpin Hamas selamat dalam pengeboman itu, namun dilaporkan ada lima warga sipil dan satu anggota Pasukan Keamanan Dalam Negeri Qatar yang tewas.

AS berupaya meyakinkan Qatar bahwa operasi tersebut mungkin dapat membawa perdamaian dan menegaskan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi, lapor Al Arabiya.

Qatar dan Mesir, yang menjadi mediator perundingan antara Israel dan Hamas, menegaskan bahwa perundingan itu akan tetap dilanjutkan meski hingga saat ini berjalan lambat.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved