Senin, 6 Oktober 2025

Konflik Korea

Presiden Korea Selatan Rayu Trump, Minta AS Jadi 'Juru Damai' Antara Korsel dengan Korut

Presiden Korsel meminta Presiden AS Donald Trump jadi “juru damai” untuk mendekatkan kembali komunikasi antara Seoul dengan Pyongyang yang memanas

Tangkapan Layar Kanal Youtube Associated Press
TRUMP KOREA SELATAN - Donald Trump (kanan) saat menyambut kedatangan presiden baru Korea Selatan, Lee Jae Myung, (kiri) di Gedung Putih, Senin (25/8/2025). Dalam kesempatan itu, Presiden Korsel meminta Presiden AS Donald Trump jadi “juru damai” untuk mendekatkan kembali komunikasi antara Seoul dengan Pyongyang yang memanas 

TRIBUNNEWS.COM – Korea Selatan (Korsel) secara terbuka meminta Presiden AS Donald Trump berperan sebagai “juru damai” untuk mendekatkan kembali komunikasi dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.

Permintaan itu diungkap presiden baru Korsel Lee Jae Myung saat menggelar pertemuan dengan Presiden Trump di Gedung Putih, Senin (25/8/2025).

Dalam pertemuan singkat itu Lee Jae Myung meminta Trump yang dikenal sebagai juru damai dunia untuk mencairkan hubungan Korsel dan Korea Utara yang telah lama memanas.

Permintaan ini bukan tanpa alasan, Trump diketahui sukses menyelesaikan enam perang dunia tanpa melalui mekanisme gencatan senjata. 

Enam konflik yang diklaim berhasil ia akhiri meliputi perseteruan Israel–Iran, Republik Demokratik Kongo–Rwanda, Kamboja–Thailand, India–Pakistan, Serbia–Kosovo, serta Mesir–Ethiopia.

Pencapaian itu menjadi bukti bahwa Trump bisa menjadi juru damai, menegahi perseteruan antara Korsel dan Korut yang telah memicu perpecahan semenanjung Korea.

“Satu-satunya orang yang bisa membuat kemajuan adalah Anda, Tuan Presiden. Jika Anda menjadi pembawa damai, saya akan menjadi penggeraknya,” ujar Lee.

Trump Pertimbangkan Permintaan Korsel

Trump merespons positif permintaan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung yang memintanya berperan sebagai juru damai dalam ketegangan dengan Korea Utara.

Trump menegaskan dirinya memiliki hubungan pribadi yang baik dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un, sesuatu yang menurutnya bisa menjadi modal penting untuk membuka kembali jalur diplomasi di Semenanjung Korea.

Baca juga: Kim Jong Un Gelar Upacara Penghargaan untuk Prajurit Korut yang Bantu Rusia Berperang di Ukraina

“Saya mengenal Kim dengan baik. Kami pernah bertemu, berbicara panjang, bahkan bertukar surat. Tidak ada yang pernah berbicara sejauh itu dengan dia,” ujar Trump.

Meski demikian, Trump menegaskan bahwa setiap langkah perundingan harus dilakukan pada waktu yang tepat.

Ia tidak menyebut rencana pertemuan baru dengan Kim, namun membuka kemungkinan jika kondisi memungkinkan.

"Kita bisa membuat kemajuan besar dengan Korea Utara," ucap Trump.

"Itu akan menarik. Kita bisa atur pertemuan antara Anda dan Kim Jong-un. Anda mau?" imbuh Trump, yang disambut tawa para hadirin.

Korea Utara sendiri belum memberikan respon apapun mengenai inisiatif Lee sejauh ini, namun Korut memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata nuklir dalam kondisi apapun.

Artinya, jika dialog damai benar-benar dibuka, Seoul dan Washington harus menemukan formula baru yang realistis agar pembicaraan tidak berakhir buntu seperti sebelumnya.

Sementara itu beberapa Kelompok konservatif di Korea Selatan menilai bahwa pendekatan ini bisa melemahkan posisi Seoul di hadapan Korut.

Sedangkan di AS, beberapa pihak skeptis Trump dapat membawa hasil nyata, mengingat Pyongyang berulang kali menolak negosiasi baik dengan Seoul maupun Washington.

Korsel-AS Perkuat Kerjasama

Tidak hanya membicarakan isu Korea Utara, Pertemuan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga membahas kerjasama kedua negara di bidang ekonomi dan keamanan kawasan.

Lee menawarkan proyek kerja sama besar di sektor maritim bertajuk “Make American Shipbuilding Great Again”.

Program ini mencakup pembangunan galangan kapal baru di Amerika Serikat, pelatihan tenaga kerja, serta perawatan armada kapal.

Selain itu, kedua pemimpin menegaskan pentingnya memperkuat kerja sama trilateral dengan Jepang.

Menurut keduanya, kemitraan tiga negara merupakan pilar utama stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Timur yang kini diwarnai persaingan geopolitik semakin ketat.

Dalam isu pertahanan, Trump tidak memberikan jawaban tegas mengenai kemungkinan pengurangan jumlah 28.500 tentara Amerika Serikat yang ditempatkan di Korea Selatan.

Namun, ia menekankan keinginannya agar AS memiliki kendali penuh atas lahan pangkalan militer besar yang saat ini masih berstatus sewa dari Seoul.

Pertemuan berlangsung dalam suasana hangat meski sempat diwarnai kegaduhan.

Lantaran beberapa jam sebelumnya, Trump menulis di media sosial tentang adanya “pembersihan atau revolusi” di Korea Selatan terkait penyelidikan terhadap mantan Presiden Yoon Suk Yeol.

Unggahan itu memicu spekulasi, namun Trump kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataannya hanya kesalahpahaman atas laporan penggerebekan gereja dan pangkalan militer.

Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan

Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan retak berawal dari pembagian Semenanjung Korea usai Perang Dunia II, kedua negara ini lahir dari ideologi yang saling bertolak belakang.

Korea Selatan (Republik Korea) didukung Amerika Serikat dan negara-negara Barat, sementara Korea Utara (Republik Rakyat Demokratik Korea) didukung Uni Soviet dan China.

Perang Korea dan Gencatan Senjata (1950–1953)

Pada 25 Juni 1950, Korea Utara melancarkan invasi ke Korea Selatan, memicu pecahnya Perang Korea. 

Konflik ini berlangsung selama tiga tahun dan menewaskan jutaan orang, baik dari militer maupun warga sipil. 

Perang berakhir pada 27 Juli 1953 dengan penandatanganan gencatan senjata, bukan perjanjian damai. 

Ini berarti kedua negara secara teknis masih berperang hingga hari ini. 

Garis Demiliterisasi (DMZ) dibentuk sebagai pemisah antara keduanya, namun tidak mengakhiri permusuhan.

Periode Konfrontasi dan Ketegangan

Dekade-dekade setelah perang diwarnai dengan berbagai insiden militer, spionase, dan retorika keras dari kedua pihak. 

Korea Utara berkali-kali melakukan penyusupan dan serangan ke Selatan, sementara Korea Selatan memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat. 

Perbedaan sistem politik, komunisme totaliter di Utara dan demokrasi kapitalis di Selatan, semakin memperdalam jurang pemisah.

Era Dialog (1990–2000-an)

Harapan rekonsiliasi mulai tumbuh pada awal 1990-an. 

Kedua Korea menandatangani perjanjian non-agresi pada 1991 dan melakukan KTT bersejarah tahun 2000 antara Kim Dae-jung (Presiden Korea Selatan) dan Kim Jong-il (pemimpin Korea Utara). 

Ini adalah pertemuan pertama sejak perang berakhir. Dikenal sebagai “Sunshine Policy”, kebijakan dialog dan bantuan ekonomi Korea Selatan bertujuan membuka pintu persaudaraan kembali.

Namun, harapan ini memudar dengan meningkatnya ambisi nuklir Korea Utara

Uji coba nuklir pertama pada 2006 membuat dunia, termasuk Korea Selatan, waspada. 

Meskipun beberapa KTT kembali digelar pada era Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong Un antara 2018–2019, hasil konkret dari pertemuan tersebut minim.

Hubungan Memburuk Kembali

Seiring berjalannya waktu, hubungan kedua negara kembali memburuk. 

Korea Utara melanjutkan program nuklir dan misil balistiknya. 

Sementara itu, di Korea Selatan terjadi pergantian pemerintahan yang kadang memperlunak, kadang memperkeras pendekatan terhadap Pyongyang.

Pada tahun 2025, ketegangan tetap tinggi.

Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, mencoba membuka jalur diplomasi tanpa prasyarat. 

Namun, Korea Utara melalui Kim Yo Jong, adik Kim Jong Un, menolak segala bentuk dialog. 

Sikap ini mencerminkan ketidakpercayaan mendalam dan ketegangan struktural yang masih mengakar.

(Tribunnews.com/Namira/Farrah)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved