Donald Trump Pimpin Amerika Serikat
Donald Trump Mengklaim Berhasil Menyelesaikan 6–7 Perang dalam Beberapa Bulan Terakhir, Apa Saja?
Donald Trump membanggakan dirinya telah berhasil menyelesaikan 6 atau 7 perang, apa saja?
TRIBUNNEWS.COM – Di tengah pertemuannya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Ruang Oval, Senin (18/8/2025), Presiden AS Donald Trump kembali membanggakan keberhasilannya mengakhiri "enam perang" dalam beberapa bulan terakhir tanpa menegosiasikan satu pun gencatan senjata.
"Jika Anda melihat enam kesepakatan yang saya capai tahun ini, semuanya terkait perang. Saya tidak melakukan gencatan senjata apa pun," kata Trump, dikutip dari The Independent.
Trump kemudian mengatakan kepada Zelensky, “Saya rasa Anda tidak membutuhkan gencatan senjata.”
Sejak kunjungannya ke Skotlandia bulan lalu, Trump berulang kali mengklaim bahwa ia telah mengakhiri perang “sekitar satu perang per bulan,” menurut laporan PolitiFact.
Sebelumnya pada hari Senin, Trump mengunggah pernyataan di Truth Social bahwa dalam salah satu kasus, ia berhasil mencegah kemungkinan bencana, meski tidak merinci bencana apa itu.
Pada Selasa (19/8/2025) pagi, Trump kembali mengatakan kepada Fox & Friends bahwa pemerintahannya telah menyelesaikan tujuh perang, meskipun ia tidak merinci konflik mana saja yang dimaksud.
Gedung Putih menyampaikan kepada The Independent bahwa Trump merujuk pada konflik-konflik yang terjadi baik pada periode pertama maupun kedua masa pemerintahannya.
Sebelumnya, Gedung Putih memuji Trump sebagai “pembawa perdamaian utama.”
Trump sendiri juga menjuluki dirinya sebagai “presiden perdamaian” dan bahkan mengincar Hadiah Nobel Perdamaian.
Lantas, perang-perang apa saja yang dimaksud Trump? Berikut kemungkinan daftar konfliknya, dikutip dari The Independent:
1. Israel dan Iran
Sekitar tiga hari setelah meluncurkan Operasi Midnight Hammer, Trump mengatakan kepada para pemimpin NATO bahwa pemerintahannya berhasil mengakhiri perang 12 hari antara Israel dan Iran, konflik yang berakar sejak 30 tahun lalu.
Baca juga: Trump, si Duta Perdamaian Dunia Klaim Akhiri 6 Perang, Konflik Rusia–Ukraina Jadi Target Berikutnya?
Pada 22 Juni 2025, situs pengayaan uranium utama Iran — Fordow dan Natanz — serta pangkalan penelitian Isfahan menjadi sasaran serangan bom penghancur bunker dan rudal jelajah Tomahawk AS, yang diklaim Trump telah “memusnahkan” fasilitas tersebut.
AS turun tangan pada 21 Juni setelah Israel lebih dulu melancarkan serangan mendadak delapan hari sebelumnya terhadap fasilitas nuklir Iran dan infrastruktur militernya.
Iran merespons dengan gelombang serangan rudal dan drone ke pangkalan militer serta kota-kota Israel.
Pada 23 Juni, Trump mengumumkan di Truth Social bahwa Israel dan Iran telah mencapai “GENCATAN SENJATA TOTAL DAN PENUH”, dimediasi oleh AS.
Meski tindakan Trump dinilai mengurangi eskalasi konflik, klaim bahwa ia berhasil “mengamankan perdamaian abadi” dianggap berlebihan, mengingat ketegangan kawasan masih tinggi.
2. India dan Pakistan
Saling serang militer singkat namun mematikan antara India dan Pakistan pada 7 Mei memicu kembali ketegangan lama terkait sengketa wilayah Kashmir.
Trump menawarkan diri sebagai mediator, menyatakan bisa membantu menemukan solusi untuk wilayah Himalaya yang diklaim kedua negara.
Pakistan memuji Trump karena bersedia menjadi penengah.
“Kami menghargai kesediaan Presiden Trump mendukung upaya penyelesaian sengketa Jammu dan Kashmir,” kata pemerintah Pakistan.
Namun, India mengambil sikap berbeda. Pemerintah India enggan mengakui peran AS dan menegaskan bahwa Kashmir adalah masalah internal.
Mayor Jenderal Rameshwar Roy, pensiunan perwira Angkatan Darat India, bahkan menolak tawaran Trump, menyebutnya “tidak relevan dan mengganggu.”
Ia mengatakan kepada The Independent pada Mei lalu bahwa gencatan senjata India–Pakistan adalah kesepakatan bilateral tanpa keterlibatan AS.
Menteri Luar Negeri India Vikram Misri juga menegaskan bahwa Perdana Menteri Narendra Modi sudah menyampaikan langsung kepada Trump bahwa tidak ada mediasi AS dalam konflik tersebut.
3. Thailand dan Kamboja
Pada 26 Juli, Trump mengatakan ia menelepon para pemimpin Thailand dan Kamboja untuk mendesak gencatan senjata setelah tiga hari pertempuran sengit di perbatasan kedua negara.
Gencatan senjata akhirnya dicapai pada 28 Juli, dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, setelah Trump mengklaim telah berbicara dengan para pemimpin tersebut.
Baca juga: Trump Sebut Netanyahu Pahlawan Perang, 62.004 Orang Tewas di Gaza Akibat Genosida Israel
Trump juga mengancam akan menggagalkan kesepakatan perdagangan dengan kedua negara jika konflik terus berlanjut.
Beberapa hari kemudian, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet bahkan menominasikan Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian, memuji “kenegarawanannya” dalam menghentikan konflik.
Namun, para pakar kebijakan luar negeri meragukan klaim tersebut.
Tidak ada bukti kuat bahwa Trump secara pribadi menegosiasikan atau menengahi gencatan senjata.
Laporan juga menunjukkan bahwa gencatan senjata ini rapuh dan sudah beberapa kali dilanggar.
4. Rwanda dan Republik Demokratik Kongo
Pada 27 Juni, para menteri luar negeri Rwanda dan Republik Demokratik Kongo menandatangani perjanjian damai di Washington, D.C., ditengahi oleh AS untuk mengakhiri pertempuran di wilayah timur Kongo.
Perjanjian tersebut juga membuka peluang investasi AS pada cadangan mineral penting di Kongo Timur, termasuk emas, tembaga, dan litium.
Diapit oleh Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan delegasi kedua negara di Ruang Oval, Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “kemenangan gemilang.”
Namun, Presiden Kongo Félix Tshisekedi mengklaim keberhasilan tersebut sebagai inisiatifnya sendiri.
Pada 20 Juni, Trump menulis di Truth Social:
“Ini hari yang luar biasa bagi Afrika dan, sejujurnya, bagi dunia! Saya tidak akan mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian untuk ini, tetapi rakyat tahu, dan itu yang penting bagi saya.”
5. Armenia dan Azerbaijan
Pada 8 Agustus, Azerbaijan dan Armenia menandatangani perjanjian damai yang ditengahi AS dalam pertemuan di Gedung Putih.
Kesepakatan ini mengakhiri konflik panjang di Kaukasus Selatan.
Salah satu poin penting adalah pembukaan kembali koridor transit utama yang menghubungkan Azerbaijan dengan eksklavenya, Nakhchivan.
AS memegang hak pengembangan koridor ini dan rencananya akan menamainya “Rute Trump.”
“Sudah 35 tahun mereka berjuang, dan sekarang mereka berteman,” kata Trump pada upacara penandatanganan.
6. Mesir dan Ethiopia
Baca juga: Trump Tegaskan Tak Akan Kirim Pasukan Darat AS ke Ukraina untuk Jaminan Keamanan
Pada 29 Juni 2025, Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mengatakan bahwa perundingan dengan Ethiopia terkait Bendungan Grand Ethiopian Renaissance (GERD) di Sungai Nil terhenti.
Beberapa hari kemudian, Ethiopia menyatakan bahwa bendungan raksasa itu telah selesai dibangun.
Meski konflik bersenjata belum terjadi, Mesir khawatir bendungan akan mengurangi aliran Sungai Nil, yang memasok 90 persen kebutuhan airnya.
Sementara bagi Ethiopia, bendungan tersebut sangat membantu mengatasi krisis energi nasional, di mana lebih dari 50 persen penduduknya belum teraliri listrik.
Dalam pertemuan di Gedung Putih pada 14 Juli, Trump tampak berpihak pada Mesir.
Ia menyatakan akan menyelesaikan masalah ini “dengan sangat cepat.”
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyambut positif sikap Trump, menyebutnya sebagai “dukungan terhadap perdamaian dan stabilitas.”
Namun, pakar Ethiopia memperingatkan bahwa pernyataan Trump justru berpotensi memperkeruh situasi dan menegaskan bahwa kemajuan negosiasi lebih banyak terjadi melalui jalur multilateral, bukan intervensi AS.
7. Serbia dan Kosovo
Dalam konferensi pers di Ruang Oval pada 27 Juni, Trump mengklaim pemerintahannya mencegah pecahnya perang baru antara Serbia dan Kosovo dengan mengancam akan memberikan sanksi perdagangan.
Presiden Kosovo Vjosa Osmani mengatakan pada 10 Juli bahwa Trump memang mencegah potensi eskalasi.
Namun, Presiden Serbia Aleksandar Vučić membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa konflik bersenjata bahkan tidak terpikirkan.
Setelah pecahnya Yugoslavia, ketegangan antara kedua negara memuncak antara tahun 1998 dan 1999 ketika kedua negara berperang, yang berakhir dengan intervensi NATO.
Sebagai informasi, Kosovo dulunya bagian dari Serbia, namun mendeklarasikan kemerdekaan pada 2008.
Serbia tidak mengakui kemerdekaan Kosovo, meski lebih dari 100 negara sudah mengakuinya.
Wilayah utara Kosovo masih dihuni oleh mayoritas etnis Serbia, dan sering menjadi titik konflik.
Pada masa jabatan pertama Trump, AS juga pernah memediasi pakta normalisasi ekonomi antara kedua negara pada 2020.
Kata Pakar
Donald Trump, yang sejak lama menginginkan Hadiah Nobel Perdamaian, mengecap dirinya sendiri sebagai pembawa perdamaian global.
Namun, apakah Trump benar-benar pantas mendapatkannya?
Lima pakar yang diwawancarai The Conversation semuanya mengatakan “tidak.”
1. Emma Shortis - Peneliti Senior Adjunct, Sekolah Studi Global, Perkotaan, dan Sosial, Universitas RMIT, Melbourne, Australia
“Menominasikan Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian itu seperti memasukkan hyena ke dalam pertunjukan anjing.
Tentu saja Trump tidak pantas mendapatkannya. Fakta bahwa kita dipaksa menanggapi pertanyaan ini dengan serius adalah bukti lain dari kemampuannya yang luar biasa dalam menetapkan dan mengatur ulang ketentuan-ketentuan politik kita.”
2. Ali Mamouri - Peneliti Studi Timur Tengah, Universitas Deakin, Geelong, Australia
“Nominasi Donald Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian oleh seseorang yang menghadapi tuduhan kejahatan perang merupakan ironi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat kelam, yang tidak dapat diabaikan.
Peran Trump dalam menengahi Kesepakatan Abraham dipuji sebagai terobosan diplomatik karena membuka jalan bagi normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko.”
Namun, pencapaian ini dibayar mahal. Kesepakatan tersebut sengaja mengabaikan isu Palestina, yang selama ini menjadi inti ketidakstabilan regional, dan menyingkirkan konsensus internasional selama puluhan tahun mengenai solusi dua negara.”
3. Ian Parmeter - Peneliti Studi Timur Tengah, Universitas Nasional Australia
“Trump jelas menginginkan penghargaan tersebut, yang sebelumnya diraih pendahulunya, Barack Obama, pada tahun pertama masa jabatannya.”
Obama dianugerahi penghargaan pada 2009 atas upayanya mempromosikan nonproliferasi nuklir dan mendorong ‘iklim baru’ dalam hubungan internasional, khususnya dalam menjangkau dunia Muslim.”
Mengingat kedua ambisi ini belum membuahkan hasil signifikan, klaim apa yang sebenarnya bisa diajukan Trump pada tahap masa jabatan keduanya ini?”
4. Jasmine-Kim Westendorf - Profesor Madya Perdamaian dan Konflik, serta Wakil Direktur Inisiatif Pembangunan Perdamaian, Universitas Melbourne
“Trump menyatakan bahwa warisan paling membanggakannya adalah sebagai pembawa damai dan pemersatu. Namun, kenyataannya ia bukanlah keduanya.
Trump justru memicu eskalasi ketidakamanan, konflik bersenjata, dan pelanggaran hak asasi manusia secara global, serta secara aktif melemahkan kerja sama internasional untuk perdamaian. Ini termasuk keputusannya memberikan sanksi kepada hakim Mahkamah Pidana Internasional.”
Ada tren yang mengkhawatirkan di mana Hadiah Nobel Perdamaian digunakan untuk mendorong agenda politik tertentu, bukan murni untuk menghargai prestasi nyata.
5. Shahram Akbarzadeh - Direktur Forum Studi Timur Tengah (MESF), Universitas Deakin
“Benjamin Netanyahu ingin kita percaya bahwa Donald Trump adalah seorang pembawa damai.
Kenyataannya sangat jauh berbeda. Rekam jejaknya berlumuran darah dan penderitaan. Fakta bahwa Trump yakin dirinya layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian hanya membuktikan ilusi keagungannya, di tengah begitu banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.