Konflik Rusia Vs Ukraina
Eropa Bahas Jaminan Keamanan Ukraina setelah Zelensky Bertemu Trump
Para pemimpin Eropa membahas jaminan keamanan Ukraina setelah perundingan antara Presiden Ukraina Zelensky dan Presiden AS Donald Trump.
TRIBUNNEWS.COM - Para pemimpin Eropa mengadakan pertemuan lagi setelah sebelumnya ke Gedung Putih bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Senin (18/8/2025).
Anggota "Coalition of the Willing" yang terdiri dari negara Eropa pendukung Ukraina bertemu secara virtual pada Selasa (19/8/2025).
Pertemuan tersebut diketuai oleh Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Setelah itu, mereka akan bergabung dengan konferensi video yang diselenggarakan oleh presiden Dewan Eropa, António Costa.
Upaya tersebut merupakan dukungan terhadap Ukraina dan tekanan terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump agar lebih tegas kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.
Inti pembicaraan tersebut adalah menjawab pertanyaan tentang jaminan keamanan apa yang dapat ditawarkan kepada Ukraina, lapor BBC.
Pada hari Senin, Zelensky menyebut jaminan keamanan sebagai hal terpenting dan menjadi awal untuk mengakhiri perang.
Ia pun menghargai sinyal dari Trump bahwa Amerika Serikat siap ikut serta dalam memberikan jaminan tersebut.
Menurut Zelensky, jaminan itu akan disusun secara resmi dalam waktu sekitar satu minggu hingga 10 hari.
"Jaminan keamanan kemungkinan besar akan 'diungkap' oleh mitra kami, dan semakin banyak detail akan terungkap. Semua ini entah bagaimana akan diformalkan di atas kertas dalam waktu seminggu hingga 10 hari ke depan," kata Zelensky dalam konferensi pers di Washington pada hari Senin.
Trump, melalui unggahan di media sosial pada Senin malam, mengatakan pembicaraan di Gedung Putih membahas rencana negara-negara Eropa untuk memberi jaminan keamanan kepada Ukraina, dengan Amerika Serikat berperan sebagai koordinator.
Baca juga: Isu Sensitif, Zelensky Hanya Mau Bicara Berdua dengan Putin soal Teritorial
Beberapa negara, termasuk Inggris dan sekutu Eropa lain, mengusulkan pembentukan “pasukan penenang” yang bisa ditempatkan di Ukraina setelah tercapai perjanjian damai, agar Rusia tidak menyerang kembali.
Namun, rencana ini hanya bisa berjalan jika ada dukungan kuat dari Amerika Serikat, sementara Trump sendiri masih enggan mengirim pasukan AS sebagai penjamin.
Di sisi lain, Rusia menolak keras ide penempatan pasukan NATO di Ukraina, seperti diberitakan The Guardian.
Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan bahwa mereka menolak skenario apa pun yang melibatkan kehadiran personel NATO di Ukraina.
Selain itu, ada juga usulan agar sekutu Barat memberi Ukraina perlindungan mirip dengan Pasal 5 NATO, yaitu prinsip pertahanan kolektif yang menyatakan serangan terhadap satu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua negara anggota.
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, menegaskan setelah pertemuan di Gedung Putih bahwa meskipun Ukraina tidak akan menjadi anggota NATO, negara itu tetap akan mendapat jaminan keamanan dari semua mitra NATO.
"Ini hari yang penting, wajah baru setelah tiga setengah tahun, di mana kita tidak melihat tanda-tanda apa pun dari pihak Rusia yang menunjukkan keinginan untuk berdialog. Jadi, ada sesuatu yang berubah... Kita akan membahas banyak topik penting. Yang pertama adalah jaminan keamanan, bagaimana memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi, yang merupakan prasyarat dari setiap bentuk perdamaian," kata Giorgia Meloni.
"Saya senang kita akan membahasnya, saya senang kita akan memulai dari sebuah proposal, katakanlah model Pasal 5... sebuah klausul keamanan kolektif yang akan memungkinkan Ukraina mendapatkan dukungan dari semua mitranya, termasuk Amerika Serikat, yang siap mengambil tindakan jika diserang lagi," lanjutnya, lapor Ukrinform.
Kremlin Belum Konfirmasi Pertemuan Putin dan Zelensky
Dalam pertemuan dengan Zelensky dan para pemimpin Eropa pada hari Senin, Presiden AS Donald Trump mengklaim Putin siap bertemu tatap muka dengan Zelensky dalam beberapa minggu ke depan, meski Rusia belum mengonfirmasi.
Bahkan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang juga hadir di Gedung Putih pada hari Senin, mengusulkan Kota Jenewa di Swiss sebagai lokasi pertemuan Putin dan Zelensky.
Pertemuan antara Trump, Zelensky dan para pemimpin Eropa pada hari Senin digelar hanya beberapa hari setelah Trump bertemu Putin di Alaska pada Jumat (15/8/2025).
Meski Trump dan Eropa mengatakan Zelensky akan bertemu dengan Putin, Kremlin belum mengonfirmasi kabar tersebut.
Ajudan Kremlin, Yuri Ushakov, hanya mengatakan Putin dan Trump membahas gagasan untuk "meningkatkan jumlah perwakilan" dalam perundingan Ukraina.
Dalam pernyataannya pada Senin malam, Yuri Ushakov tidak menjelaskan apa yang akan terjadi dan tidak menyebutkan kemungkinan pertemuan trilateral dengan Trump dan Zelensky.
Pekan lalu pada 13 Agustus, Rusia menegaskan persyaratan untuk mengakhiri perang tetap sama seperti tuntutan Putin tahun lalu.
Wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexei Fadeev, mengatakan Rusia siap berkompromi mengenai tuntutan teritorialnya.
"Posisi Rusia tetap tidak berubah, dan hal itu disuarakan di aula ini lebih dari setahun yang lalu, tepatnya pada 14 Juni 2024," ujar Fadeev, merujuk pada pidato Putin di Kementerian Luar Negeri saat itu.
Pada saat itu, Putin mengemukakan tuntutan termasuk penarikan pasukan Ukraina dari wilayah Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson yang masih mereka kuasai.
Putin juga mengatakan Ukraina harus secara resmi memberitahu Rusia bahwa mereka membatalkan rencananya untuk bergabung dengan aliansi militer NATO yang dipimpin AS, memastikan Ukraina tetap netral dan tidak berpihak.
Presiden Rusia itu meminta Ukraina untuk menjamin hak dan kebebasan penutur bahasa Rusia di Ukraina, serta mengakui Krimea, Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson sebagai bagian dari Rusia.
Sementara itu Zelensky dalam pertemuannya dengan Trump pada hari Senin, menegaskan Ukraina akan menolak kesepakatan apa pun yang membatasi jumlah angkatan bersenjatanya dan mengatakan tentara Ukraina yang kuat harus menjadi bagian dari jaminan keamanan negara.
Persyaratan dari Ukraina bertentangan dengan persyaratan yang sebelumnya digariskan Putin sebagai syarat yang dapat diterima untuk mengakhiri perang, lapor Reuters.
Perang Rusia di Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022, yang merupakan buntut panjang dari ketegangan antara Ukraina dan Rusia sejak pecahnya Uni Soviet pada Desember 1991.
Putin menyampaikan tujuan "operasi militer khusus" pada hari pertama invasi ke Ukraina.
Dalam pidatonya, Putin mengatakan Rusia harus menghilangkan kemampuan militer Ukraina yang dianggap sebagai ancaman, menyingkirkan unsur "neo-Nazi" yang dituduh ada dalam pemerintahan Ukraina, membela etnis Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk dari dugaan penindasan.
Putin juga menekankan bahwa Rusia tidak berencana untuk menduduki wilayah Ukraina dan mendukung hak rakyat Ukraina untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Namun, ia memperingatkan negara-negara lain agar tidak mengintervensi konflik tersebut, dengan menyatakan bahwa setiap upaya untuk campur tangan akan mengarah pada "konsekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya".
Selain itu, Rusia ingin mencegah Ukraina bergabung dengan aliansi NATO atau menjadi basis Barat, dan menolak keberadaan militer NATO di perbatasan Rusia.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.