Iran Tegas Dukung Hizbullah, Tolak Pelucutan Senjata Perlawanan
Iran mendukung sekutunya, Hizbullah Lebanon, yang menolak pelucutan senjata dan menyerahkannya kepada pemerintah Lebanon.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Iran mendukung apa pun keputusan sekutunya, partai bersenjata Hizbullah, termasuk penolakan untuk menyerahkan senjatanya ke pemerintah Lebanon.
Hizbullah beberapa bulan ini telah menghadapi tuntutan dari pemerintah Lebanon untuk menyerahkan senjatanya.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi mengatakan Iran mendukung sekutunya Hizbullah dalam keputusannya.
"Keputusan apa pun terkait masalah ini pada akhirnya akan berada di tangan Hizbullah," ujar Abbas Araqchi dalam wawancara yang disiarkan televisi pada hari Rabu (6/8/2025).
"Kami mendukungnya dari jauh, tetapi kami tidak ikut campur dalam keputusannya," lanjutnya.
Ia menambahkan Hizbullah telah membangun kembali kemampuannya setelah kemunduran yang dialaminya dalam perang tahun lalu dengan Israel.
Menteri Luar Negeri Iran menambahkan ini bukan pertama kalinya ada upaya untuk melucuti senjata Hizbullah, mengingat alasan di balik upaya pelucutan senjata partai tersebut sudah jelas yaitu mengambil kekuatan senjata perlawanan.
Abbas Araghchi memuji Sekretaris Jenderal Hizbullah Naim Qassem yang mengambil sikap tegas.
Ia mencatat Gerakan Amal dan Nabih Berri mendukung posisi Hizbullah, yang menunjukkan ketahanannya dalam menghadapi rencana pelucutan senjata.
Rencana pelucutan senjata Hizbullah muncul setelah Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam menugaskan Angkatan Darat Lebanon untuk menyiapkan rencana eksekutif guna menyita senjata sebelum akhir tahun.
Rencana tersebut akan disampaikan kepada pemerintah pada akhir bulan ini untuk dibahas dan disetujui.
Baca juga: Sekjen Hizbullah, Sheikh Naim Qassem Menolak Pelucutan Senjata dan Menyerahkannya kepada Israel
Pada 31 Juli lalu, Presiden Lebanon Joseph Aoun menyampaikan pidato yang menyerukan pelucutan senjata semua angkatan bersenjata, termasuk Hizbullah, dan pemindahan mereka ke militer.
Pelucutan senjata ini bukan yang pertama kali muncul di Lebanon.
Dalam Perjanjian Taif pada tahun 1989 yang mengakhiri Perang Saudara Lebanon, disebutkan bahwa semua milisi Lebanon dan non-Lebanon harus dibubarkan dan senjatanya diserahkan kepada negara.
Namun, Hizbullah secara tidak resmi dikecualikan karaen statusnya sebagai kelompok perlawanan terhadap pendudukan Israel.
Menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 2 September 2004, Hizbullah diminta untuk menyerahkan senjatanya ke negara dalam rangka demiliterisasi kelompok bersenjata.
Pada 11 Agustus 2006, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menekankan tidak boleh ada senjata atau otoritas di Lebanon selain yang dikelola oleh negara.
Setelah terpilihnya Joseph Aoun sebagai presiden Lebanon, pemerintah Lebanon menegaskan bahwa hanya negara yang berhak memegang senjata.
Sesi di kabinet untuk pelucutan senjata ini dimulai pada 14 Maret 2025, membahas bahwa senjata harus di tangan Tentara Lebanon (LAF).
Pada 28 Maret 2025, Joseph Aoun menyatakan keputusan untuk mengintegrasikan senjata ke negara melalui dialog damai, bukan paksaan.
Pada 31 Juli 2025, dalam perayaan Hari Tentara Lebanon ke‑80, Presiden Aoun menyerukan Hezbollah dan kelompok bersenjata lainnya untuk menyerahkan senjatanya ke Tentara Lebanon.
Ia meminta pertemuan kabinet untuk menetapkan jadwal pelaksanaannya.
Pada 26 Juli 2025, Aoun mengakui bahwa dialog dengan Hezbollah berjalan lambat, namun tetap melihat peluang historis untuk melucuti senjata mereka dan memperkuat kedaulatan negara.
Pada 6 Agustus 2025, pemerintah meloloskan keputusan agar Tentara Lebanon menyusun rencana pelucutan senjata untuk memusatkan kepemilikan senjata pada negara saja sebelum akhir tahun.
Hizbullah
Hizbullah (Partai Allah) didirikan pada awal 1980-an di Lebanon, terutama sebagai reaksi terhadap invasi Israel ke Lebanon selatan pada tahun 1982.
Partai ini dibentuk setelah mendapat pengaruh dari Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang menginspirasi banyak kelompok di Timur Tengah, termasuk di Lebanon.
Organisasi ini tumbuh dari komunitas Syiah Lebanon, dengan dukungan kuat dari Iran, khususnya Korps Garda Revolusi Islam (IRGC).
Awalnya, Hizbullah dibentuk untuk melawan pendudukan Israel, menegakkan republik Islam di Lebanon, dan menjadi pelindung komunitas Syiah.
Mereka juga menentang kehadiran negara-negara Barat dan Israel di wilayah Arab.
Sejak 1992, Hizbullah berpartisipasi dalam pemilu Lebanon, memenangkan kursi di parlemen dan masuk ke dalam struktur pemerintahan resmi Lebanon.
Mereka memiliki sayap militer dan sayap politik, meskipun banyak negara menganggapnya satu entitas.
Sayap militernya dikenal kuat, didukung pelatihan dan persenjataan dari Iran dan Suriah, lapor BBC.
Partai ini dikenal memiliki rudal jarak menengah, drone, dan taktik gerilya, dan sering disebut sebagai kekuatan milisi non-negara paling kuat di Timur Tengah.
Hizbullah pernah terlibat dalam berbagai konflik besar, termasuk perang 2006 melawan Israel dan perang sipil Suriah di sisi rezim Bashar al-Assad.
Sejumlah negara termasuk AS, Israel, Inggris, Liga Arab, Kanada, Australia, dan beberapa negara Eropa memasukkan Hibzullah ke dalam daftar kelompok terlarang.
Namun, beberapa negara, seperti Rusia dan China, tidak memasukkan Hizbullah dalam daftar teroris.
Basis utama Hizbullah berada di selatan Lebanon, Lembah Bekaa, dan pinggiran Beirut selatan.
Selain aktivitas militer, mereka menjalankan sekolah, rumah sakit, dan layanan sosial, yang meningkatkan dukungan publik di kalangan Syiah.
Hubungan Hizbullah dan Iran
Hubungan Iran dan Hizbullah tak lepas dari pengaruh Revolusi Islam Iran dan ideologi Pemimpin Tertinggi Iran saat itu Ayatollah Khomeini.
Saat Israel menginvasi Lebanon tahun 1982, Iran mengirim sekitar 1.500 pasukan Garda Revolusi (IRGC) ke Lebanon melalui Suriah.
Tujuan utamanya melatih, mempersenjatai, dan membentuk Hizbullah sebagai kekuatan perlawanan terhadap Israel.
Menurut laporan AS, Hizbullah mendapat dana miliaran dolar per tahun dari Iran sejak pendiriannya.
Mereka juga mendapat persenjataan modern dan pelatihan militer dan intelijen tingkat tinggi.
Keduanya sama-sama memiliki sentimen terhadap Barat dan Israel.
Israel dan AS menyebut Hizbullah sebagai proksi dalam Poros Perlawanan yang terdiri dari berbagai kelompok perlawanan di Timur Tengah untuk membantu Iran melawan mereka.
Iran dan Hizbullah menjadi sekutu sejak Perang Suriah pada tahun 2012, mendukung rezim Bashar Al-Assad (yang kini telah digulingkan pada Desember 2024).
Karena kedekatannya dengan Iran, Hizbullah menjadi target serangan Israel dan AS baik, lapor Reuters.
Hizbullah sempat terlibat dalam perlawanan terhadap Israel sejak 8 Oktober 2023, mendukung perlawanan rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Setelah melalui perang yang panjang dan kehilangan banyak pemimpin, Hizbullah dan Israel menyepakati perjanjian gencatan senjata pada 26 November 2024.
Namun, Israel masih melanjutkan sejumlah serangan di perbatasannya dengan Lebanon selatan dengan dalih untuk menargetkan Hizbullah.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.