Eksklusif dari Jepang: Jejak Gelap Prostitusi Kabukicho, Remaja hingga Mahasiswi Sasar Turis Asing
Kabukicho di Shinjuku, Tokyo menjadi red-light district paling terkenal, dengan banyak tempat hiburan dewasa
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO — Di balik gemerlap lampu neon dan hiruk-pikuk malam di Kabukicho, distrik hiburan terbesar di Shinjuku, Tokyo, tersembunyi wajah lain dari kota metropolitan ini yakni dunia prostitusi jalanan yang semakin terbuka dan terorganisir.
Kabukicho di Shinjuku, Tokyo menjadi red-light district paling terkenal, dengan banyak tempat hiburan dewasa.
Data terbaru kepolisian menunjukkan lonjakan signifikan kasus prostitusi selama paruh pertama 2025, dengan pelaku yang semakin muda dan modus yang semakin canggih.
Lonjakan Kasus dan Wajah Baru Pelaku Prostitusi
Dalam enam bulan pertama tahun ini, 75 perempuan ditangkap karena terlibat dalam prostitusi jalanan di kawasan Kabukicho.
Angka ini meningkat drastis dibandingkan 32 kasus pada periode yang sama tahun lalu.
Yang mengkhawatirkan, 9 di antaranya masih di bawah umur, bahkan ada yang belum genap berusia 18 tahun.
Baca juga: Narapidana yang Kendalikan Open BO Anak di Bawah Umur, Divonis 9 Tahun Kasus Perdagangan Anak
Mayoritas dari para pelaku adalah mahasiswi atau mantan pekerja industri hiburan malam.
Tekanan ekonomi, gaya hidup konsumtif, serta utang dengan klub tuan rumah (host club) disebut sebagai motif utama.
“Sekitar 40 persen mengaku terlilit utang pada host club. Banyak dari mereka masuk karena bujuk rayu atau keterikatan emosional yang manipulatif,” ujar seorang penyelidik di Kepolisian Tokyo, yang identitasnya dirahasiakan.
Namun demikian, banyak pelacur bukan warga Jepang, melainkan dari Cina, Korea, Filipina, dan Thailand, direkrut oleh agen atau germo.
Perubahan Pola: Targetkan Turis Asing
Jika sebelumnya pasar utama adalah warga lokal, kini turis asing—terutama pria asal Taiwan, Korea Selatan, dan Asia Tenggara—jadi sasaran utama.
Menurut pengakuan beberapa tersangka, pelanggan asing dianggap lebih mudah dibujuk, tidak memahami sistem hukum Jepang dan kecil kemungkinan adalah polisi menyamar.
Pada 22 Juli 2025 lalu, empat perempuan ditangkap di dekat Taman Okubo karena tertangkap tangan menawarkan layanan seksual kepada pria asing.
Mereka mengaku aktif beroperasi sejak pertengahan Mei.
Baca juga: Diduga Jadi Sarang Prostitusi, Bangunan Liar di Lahan BRIN di Tangerang Selatan Dibongkar
Jaringan Virtual: Grup Chat, Foto Polisi, dan Peta Aman
Investigasi mengungkap adanya jaringan digital tertutup yang dipakai para pelaku untuk berbagi informasi.
Di dalamnya mereka membagikan foto-foto polisi yang menyamar, menandai lokasi razia dan memberikan kode “zona aman” untuk beroperasi.
Tarif layanan berkisar antara ¥20.000 hingga ¥30.000 (sekitar Rp2,6 juta–Rp3,9 juta) per sesi.
Salah satu pelaku dilaporkan sanggup melayani lima klien per hari dan mengumpulkan lebih dari ¥110 juta (setara Rp14,3 miliar) dalam dua tahun terakhir.

Dilema Hukum: Antara Zona Abu-abu dan Regulasi Ketat
Prostitusi di Jepang adalah topik kompleks yang melibatkan aspek hukum, budaya, ekonomi, dan sejarah.
Meskipun secara hukum prostitusi dilarang sejak tahun 1956, praktiknya tetap berlangsung melalui berbagai celah dan bentuk layanan alternatif.
Secara hukum, prostitusi dengan definisi penetrasi seksual berbayar adalah ilegal di Jepang berdasarkan Anti-Prostitution Law tahun 1956.
Undang-undang Jepang mendefinisikan prostitusi sebagai hubungan seksual dengan orang asing sebagai imbalan uang.
Untuk menghindari pelanggaran hukum, banyak tempat menawarkan layanan seksual tidak langsung, seperti pijat erotis, mandi bersama, atau sekadar menemani bicara.
Namun, celah hukum membuat berbagai bentuk layanan seksual non-penetratif seperti fashion health dan delivery health tetap marak.
Baca juga: 10 Negara dengan Omzet Judi Online Terbesar 2025: AS-Inggris Dominasi, Indonesia Posisi Berapa?
Kegiatan ini berada di wilayah “zona abu-abu” legalitas, dan razia baru digencarkan bila menyangkut eksploitasi anak atau keterlibatan sindikat kriminal (yakuza).
Jepang memiliki sejarah panjang industri seks, dari yuukaku (daerah prostitusi resmi) di era Edo hingga comfort women di masa perang.
Pihak berwenang kini mempertimbangkan langkah preventif yang lebih luas, termasuk kerja sama dengan imigrasi untuk menyampaikan peringatan resmi bagi turis yang masuk melalui bandara.
“Ini bukan hanya soal kriminalitas, tapi fenomena sosial yang harus ditangani dari akarnya,” ungkap pejabat Kepolisian Shinjuku.
Fenomena ini menuai reaksi dari komunitas diaspora dan pencinta budaya Jepang. Banyak yang mengungkapkan keprihatinan atas bagaimana tren ini dapat merusak citra perempuan Jepang dan memperkuat stereotip negatif di mata turis asing.
Bagi masyarakat yang ingin bergabung dalam diskusi atau mencari informasi sosial seputar Jepang, dapat menghubungi komunitas kami di:
email : [email protected], sertakan nama, kota domisili, dan nomor WhatsApp untuk verifikasi.
Masjid Kabukicho Jepang Ditutup 30 September 2025, Pengurus Berusaha Cari Lokasi Pengganti |
![]() |
---|
Usai Keroyok Pemuda hingga Tewas, 2 TNI AD di Serang Pergi ke Tempat Hiburan Malam, Beraksi 2 Kali |
![]() |
---|
Polisi Tewas Depan Tempat Hiburan Malam di Dumai, Mulut Bripka Sopan Sembiring Berbusa |
![]() |
---|
Aturan Baru Jam Operasional Tempat Hiburan Malam di Jakarta Selama Ramadan 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.