Iran Vs Amerika Memanas
Araghchi: Iran Siap Lanjutkan Negosiasi, tapi Amerika Harus Ubah Perilakunya Dulu
Abbas Araghchi menyatakan bahwa Iran bersiap membuka negosiasi nuklir, asalkan Amerika Serikat mengubah perilakunya.
TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk melanjutkan negosiasi dengan Amerika Serikat, asalkan dilakukan berdasarkan martabat dan rasa saling menghormati.
Dalam sebuah wawancara dengan Le Monde yang diterbitkan pada Kamis (10/7/2025), Araghchi menekankan bahwa AS harus terlebih dahulu mengubah perilakunya.
Araghchi juga menuntut adanya jaminan bahwa AS tidak akan melancarkan serangan militer lagi terhadap Iran selama proses negosiasi berlangsung.
"Iran selalu mendekati proses negosiasi dengan komitmen terhadap martabat, logika, dan rasa saling menghormati," tegasnya.
"Kontak dan pertukaran diplomatik terus berlangsung. Saat ini, jalur komunikasi diplomatik sedang dibangun melalui negara-negara sahabat atau perantara," ujarnya.
"Diplomasi adalah jalan dua arah. AS-lah yang memutuskan jalur negosiasi dan memilih melakukan tindakan militer."
"Karena itu, sangat penting bagi AS untuk mengakui kesalahan masa lalunya dan menunjukkan perubahan perilaku yang nyata."
"Kami membutuhkan jaminan bahwa Amerika Serikat akan menahan diri dari serangan militer selama proses diskusi di masa depan."

Iran Menuntut Kompensasi
Dalam wawancara yang sama, Araghchi menyebut bahwa serangan AS telah merusak fasilitas nuklir Iran.
Ia menekankan bahwa Iran berhak menuntut kompensasi setelah kerusakan yang terjadi dievaluasi.
"Kami memiliki hak untuk menuntut kompensasi atas konsekuensi dari tindakan-tindakan tersebut."
Baca juga: Presiden Iran Ultimatum IAEA: Hentikan Standar Ganda jika Ingin Kerja Sama Nuklir
"Pernyataan bahwa sebuah program telah dihancurkan, yang memaksa suatu negara meninggalkan program nuklir damai untuk keperluan energi, medis, farmasi, pertanian, dan pembangunan, merupakan kesalahan kalkulasi yang serius."
Ilmu Pengetahuan Tidak Mudah Dihancurkan
Lebih lanjut, Araghchi menegaskan bahwa program nuklir Iran yang berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dijalankan sesuai hukum internasional, mencakup lebih dari sekadar struktur fisik.
"Kegigihan sebuah bangsa yang telah mencapai puncak ilmu pengetahuan tidak mudah dihancurkan," ujarnya.
Ia menambahkan, kerusakan yang lebih besar justru terletak pada dampak terhadap sistem non-proliferasi internasional.
"Serangan terhadap fasilitas nuklir yang dipantau IAEA, ditambah kegagalan negara-negara Barat dalam mengutuknya, adalah serangan terhadap landasan hukum internasional, khususnya rezim non-proliferasi."
Iran Tidak Akan Keluar dari NPT
Araghchi menegaskan bahwa Iran tidak berniat menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan tetap berkomitmen terhadap perjanjian tersebut, namun menegaskan bahwa penerapannya tidak boleh bersifat sepihak.
"Kami memperkaya uranium berdasarkan hak kami dalam NPT dan secara konsisten menegaskan bahwa tidak ada niat untuk tujuan militer."
"Bahkan di tengah serangan dan pelanggaran, kami tidak menyimpang dari kebijakan kami yang jelas mengenai senjata nuklir, yang secara tegas didasarkan pada fatwa yang melarang produksi, penimbunan, atau penggunaan senjata pemusnah massal."
Ia menutup pernyataannya dengan mengatakan bahwa tingkat pengayaan ditentukan oleh kebutuhan domestik Iran.
"Sebelumnya, kami menetapkan patokan pengayaan satu digit, khususnya untuk Reaktor Riset Teheran, yang digunakan untuk pengobatan dan terapi berbasis radiofarmasi," jelas Araghchi.
Sebelumnya, pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan mendadak terhadap Iran yang menewaskan sejumlah komandan militer dan ilmuwan nuklir senior.
Kemudian, pada 22 Juni, Amerika Serikat secara resmi bergabung dalam perang agresi Israel terhadap Iran dengan meluncurkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir.
Mengenal Perjanjian NPT
Dilansir nti.org, NPT merupakan upaya global untuk mencegah penyebaran senjata nuklir, mendorong kerja sama dalam pemanfaatan energi nuklir secara damai, dan memajukan tujuan pelucutan senjata nuklir serta perlucutan senjata secara menyeluruh.
Perjanjian ini mulai berlaku pada tahun 1970, dan saat ini memiliki 91 negara anggota.
Baca juga: Israel Dalam Bahaya, Iran Tunjukkan Minat Serius Rafale Killer Jet J-10C yang Siap Dilepas China
Tiga Pilar Non-Proliferasi
1. Non-Proliferasi
Menjamin bahwa Negara-Negara Berkekuatan Nuklir (NWS) tidak mentransfer senjata nuklir kepada Negara-Negara Non-Nuklir (NNWS), dan bahwa NNWS tidak akan memperoleh atau mengembangkan senjata nuklir.
(Sebagai informasi, Iran termasuk dalam Negara-Negara Non-Nuklir (NNWS), sedangkan AS adalah NWS, bersama China, Rusia, Prancis dan Inggris)
2. Perlucutan Senjata
Menetapkan perlunya negosiasi yang terkoordinasi menuju pelucutan senjata nuklir dan pelucutan senjata umum di bawah pengawasan internasional yang ketat.
3. Pemanfaatan Damai
Mendorong kerja sama internasional dalam penggunaan energi nuklir secara damai dan bertanggung jawab.
Sebagai bagian dari upaya memastikan kepatuhan, NPT menetapkan sistem pengamanan yang dikelola oleh IAEA.
IAEA bertugas melakukan inspeksi dan verifikasi untuk memastikan negara anggota mematuhi kewajiban mereka dalam perjanjian ini.
Perjanjian ini ditinjau setiap lima tahun.
Pada 1995, Konferensi Tinjauan dan Perluasan menyerukan pembentukan Zona Bebas Senjata Nuklir di Timur Tengah, yang mulai diimplementasikan setelah konferensi 2010.
Namun, konferensi-konferensi berikutnya gagal mencapai konsensus, sehingga menyebabkan kemunduran bagi implementasi NPT.
Saat ini, persiapan untuk Konferensi Peninjauan April 2026 sedang berlangsung dalam tiga tahap.
Dua sesi pertama Komite Persiapan fokus pada pembahasan prinsip, tujuan, dan cara mendorong implementasi penuh perjanjian ini serta universalisasinya.
Sesi ketiga memiliki mandat khusus untuk menghasilkan laporan konsensus yang berisi rekomendasi bagi Konferensi Peninjauan.
Iran vs IAEA
Hubungan antara Iran dan IAEA memburuk sejak Perang 12 Hari pada pertengahan Juni lalu.
Mengutip Al Jazeera, Iran menuduh IAEA berperan dalam memfasilitasi serangan tersebut, terutama setelah mengeluarkan resolusi pada 12 Juni—sehari sebelum pengeboman—yang menuduh Iran melanggar kewajiban nuklirnya.
Iran menegaskan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk kepentingan damai dan membantah sedang mengembangkan senjata nuklir.
Namun, Iran juga menyatakan bahwa mereka tidak lagi mempercayai IAEA untuk bertindak secara imparsial.
Meski tetap menjadi penandatangan NPT, Iran menuduh IAEA gagal mengutuk serangan yang dilakukan AS dan Israel, dan justru cenderung berpihak pada tekanan Barat.
Di sisi lain, Kepala IAEA Rafael Grossi menyatakan bahwa perundingan dengan Iran adalah prioritas utama, namun mengakui bahwa lembaganya kehilangan akses ke fasilitas nuklir Iran sejak serangan tersebut.
IAEA melaporkan bahwa inspektur terakhirnya kini telah meninggalkan Iran dan kembali ke markas di Wina.
Badan tersebut menegaskan bahwa stafnya tetap berada di Teheran selama konflik berlangsung, dan menyatakan komitmen untuk melanjutkan pemantauan sesegera mungkin.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Sumber: TribunSolo.com
Iran Vs Amerika Memanas
Iran Pamer Rudal Qassem Basir, Siap Balas jika AS-Israel Menyerang, Teluk Arab Tolak Terlibat |
---|
Sanksi AS: Iran Tak Takut Ancaman Trump Terhadap Minyak |
---|
Iran Bantah Rincian Perjanjian Nuklir dengan AS |
---|
Trump Desak Boikot Total Minyak Iran, Teheran: Sanksi AS Tak Akan Pengaruhi Kami |
---|
Sumber Diplomatik Iran Bantah Rincian Perjanjian Nuklir dengan AS yang Dilaporkan Media AS |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.