Minggu, 5 Oktober 2025

Konflik Rusia Vs Ukraina

Ekonomi Melambat, Bank Sentral Rusia Pangkas Suku Bunga Acuan dari Level Tertinggi Sepanjang Sejarah

Rusia diketahui telah meningkatkan pengeluaran militer sejak melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada tahun 2022 di tengah sanksi Barat

Yaroslav Chingaev / Kantor Berita Moskow
PANGKAS SUKU BUNGA - Gedung Bank Sentral Rusia. Pada Jumat (6/6/2025), Bank Sentral Rusia memangkas suku bunga acuannya menjadi 20 persen dari level tertinggi dua dekade sebesar 21 persen, dengan alasan meredanya tekanan inflasi dan tanda-tanda perlambatan ekonomi. 

Ekonomi Melambat, Bank Sentral Rusia Pangkas Suku Bunga Acuan dari Level Tertinggi Sepanjang Sejarah

 

TRIBUNNEWS.COM - Bank Sentral Rusia pada Jumat (6/6/2025) dilaporkan memangkas suku bunga acuannya menjadi 20 persen dari level tertinggi dua dekade sebesar 21 persen.

Alasan pemangkasan suku bunga ini karena meredanya tekanan inflasi dan tanda-tanda perlambatan ekonomi.

Langkah tersebut menandai pemangkasan suku bunga pertama bank tersebut sejak September 2022 dan terjadi di tengah meningkatnya tekanan politik untuk melonggarkan biaya pinjaman, yang menurut kalangan bisnis menghambat investasi dan pertumbuhan.

Baca juga: Intelijen Latvia: Rusia Pantau Militer NATO di Laut Baltik, Naikkan Jumlah Pasukan Hingga 1,5 Juta

“Perekonomian Rusia secara bertahap kembali ke jalur pertumbuhan yang seimbang,” kata Bank Sentral Rusia dalam sebuah pernyataan, dikutip dari TMT, Minggu (8/6/2025).

Meski demikian, mereka memperingatkan bahwa kebijakan moneter akan “tetap ketat untuk jangka waktu yang lama.”

Kremlin telah meningkatkan pengeluaran militer sejak melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada tahun 2022, mendorong pertumbuhan melalui produksi senjata dan pengeluaran pertahanan bahkan ketika sanksi Barat membebani sektor lain.

Inflasi masih berada di atas 10 persen, meskipun Bank Sentral mengatakan “tekanan harga” “terus menurun.”

Para pembuat kebijakan secara resmi menargetkan inflasi sebesar 4%, tetapi mereka tidak memperkirakan akan mencapai tingkat tersebut hingga tahun 2026.

Gedung Bank Sentral Asia
PANGKAS SUKU BUNGA - Gedung Bank Sentral Rusia. Pada Jumat (6/6/2025), Bank Sentral Rusia memangkas suku bunga acuannya menjadi 20�ri level tertinggi dua dekade sebesar 21%, dengan alasan meredanya tekanan inflasi dan tanda-tanda perlambatan ekonomi.

Meningkatnya Risiko Krisis Perbankan Sistemik

Dalam laporan dari lembaga pemikir ekonomi yang berafiliasi dengan negara pada akhir Mei silam, disebutkan kalau Rusia menghadapi risko meningkatnya krisis perbankan secara sistemik.

Para ahli di Pusat Analisis Makroekonomi dan Peramalan Jangka Pendek (CMASF) memperingatkan, meskipun krisis besar belum terjadi, beberapa tanda peringatan menunjukkan kemungkinan besar hal itu akan terjadi.

Dalam analisis terakhirnya, CMASF menggambarkan situasi saat ini sebagai "resonansi" sinyal ekonomi negatif: meningkatnya utang macet, indikasi awal pelarian deposan, dan meningkatnya tekanan pada bisnis dan konsumen akibat suku bunga tinggi.

Kelompok ini kini memantau secara cermat tidak hanya indikator timbulnya krisis, tetapi juga tanda-tanda bahwa krisis di masa mendatang dapat berkepanjangan.

Krisis perbankan sistemik, sebagaimana didefinisikan oleh CMASF, akan melibatkan setidaknya satu dari tiga kondisi:

  1. Pinjaman bermasalah yang melebihi 10?ri total aset perbankan
  2. Penarikan dana yang signifikan oleh deposan
  3.  Rekapitalisasi bank skala besar yang melebihi 2?ri PDB negara tersebut.

Tak satu pun dari kondisi tersebut yang terpenuhi sejauh ini, tetapi risiko yang mendasarinya terus meningkat, kata laporan itu.

Seperti diketahui, Bank Sentral Rusia, yang telah mempertahankan kebijakan moneter ketat untuk memerangi inflasi, mengakui kalau suku bunga yang tinggi memberikan tekanan pada sistem keuangan.

Peminjam korporat semakin kesulitan untuk membayar utang mereka, sementara rumah tangga mengakumulasi pinjaman macet dengan kecepatan yang terus meningkat.

Penerbitan pinjaman melambat, dan tanda-tanda tekanan kredit mulai muncul di dua pemberi pinjaman terbesar negara itu, Sberbank dan VTB.

Dalam laporan stabilitas keuangan baru-baru ini , Bank Sentral mengidentifikasi risiko kredit korporasi dan utang konsumen yang berlebihan sebagai dua dari enam kerentanan utama dalam sistem keuangan.

Laporan tersebut mencatat peningkatan tajam dalam biaya risiko kredit dan penurunan tingkat pembayaran kembali, terutama di antara peminjam ritel.

Untuk menahan dampak buruk, Bank Sentral telah meminta bank untuk menawarkan fleksibilitas lebih besar pada restrukturisasi pinjaman dan telah melonggarkan persyaratan cadangan untuk pinjaman yang direstrukturisasi mulai bulan Juli.

Pada bulan Maret dan awal April, bank-bank Rusia merestrukturisasi pinjaman senilai 2,3 triliun rubel (sekitar $25 miliar), meskipun lajunya telah melambat secara signifikan.

Meskipun Bank Sentral menyatakan bahwa situasi masih dapat dikelola, angka-angka tersebut menunjukkan cerita yang lebih rumit.

Hingga akhir April, total pinjaman bermasalah mencapai 5,2 triliun rubel ($66,2 miliar) — 3,2 triliun dalam bentuk utang korporasi dan 2 triliun dalam bentuk utang ritel — yang mewakili kurang dari 5?ri total aset perbankan.

Namun lembaga pemeringkat ACRA memperkirakan bahwa pinjaman bermasalah dapat melonjak hingga setara dengan 20% modal sistem pada akhir tahun, atau 3,7 triliun rubel.

Beberapa perusahaan terbesar di Rusia sudah merasakan tekanan. Bank Sentral melaporkan bahwa 13 dari 78 perusahaan terbesar di negara itu kini memperoleh laba lebih sedikit daripada bunga yang harus mereka bayar — dinamika yang tidak berkelanjutan jika suku bunga tinggi terus berlanjut.

Namun, regulator berpendapat bahwa sebagian besar industri, kecuali batu bara, beradaptasi dengan lingkungan moneter yang baru.

Regulator menekankan bahwa bank memiliki permodalan yang baik, dengan penyangga cadangan yang mencakup lebih dari 70% pinjaman berisiko. Pinjaman ritel sendiri memiliki penyangga sebesar 1,3 triliun rubel ($16,5 miliar) per Maret.

Rusia pernah mengalami krisis perbankan sebelumnya, yang terakhir pada tahun 2014-2015, ketika jatuhnya harga minyak dan sanksi Barat atas aneksasi Krimea memicu guncangan keuangan yang dalam.

"Episode tersebut berhasil diprediksi oleh indikator peringatan dini CMASF, serupa dengan yang sekarang menimbulkan kekhawatiran," tulis penutup ulasan TMT.


 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved