Minggu, 5 Oktober 2025

Konflik India dan Pakistan

Rafale Jatuh? Reputasi Jet Tempur Dipertanyakan, Indonesia Tinjau Ulang Kesepakatan Miliaran Dolar?

Pejabat tinggi pertahanan Indonesia dilaporkan sedang meninjau kredibilitas tempur pesawat tempur Rafale buatan Prancis

Editor: Muhammad Barir
DSA/Tangkap Layar
BUATAN PRANCIS - Jet tempur pabrikan Dassault Rafale M dari Prancis. Pejabat tinggi pertahanan Indonesia dilaporkan sedang meninjau kredibilitas tempur pesawat tempur Rafale buatan Prancis menyusul tuduhan mengejutkan bahwa tiga Rafale Angkatan Udara India (IAF) ditembak jatuh oleh jet J-10C Pakistan selama tahap awal konflik udara terbaru antara India dan Pakistan. 

Rafale Jatuh? Reputasi Jet Tempur Prancis Dikritik, Indonesia Tinjau Lagi Kesepakatan Miliaran Dolar

TRIBUNNEWS.COM-  Pejabat tinggi pertahanan Indonesia dilaporkan sedang meninjau kredibilitas tempur pesawat tempur Rafale buatan Prancis menyusul tuduhan mengejutkan bahwa tiga Rafale Angkatan Udara India (IAF) ditembak jatuh oleh jet J-10C Pakistan selama tahap awal konflik udara terbaru antara India dan Pakistan.

Sementara pengadaan 42 pesawat Rafale dari Dassault Aviation senilai US$8,1 miliar (RM35 miliar) oleh Indonesia dipandang sebagai salah satu program modernisasi kekuatan udara paling ambisius di Asia Tenggara, perubahan sikap hati-hati Jakarta menandakan meningkatnya kekhawatiran atas catatan tempur platform tersebut yang belum teruji di zona konflik intensitas tinggi.

Dikutip dari portal berita, Dave Laksono, anggota senior Komisi I DPR, yang mengawasi pertahanan dan urusan luar negeri, mengakui situasi yang berkembang tetapi mendesak pengendalian strategis dalam menarik kesimpulan.

“Klaim yang belum diverifikasi di zona konflik tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya dasar untuk menilai efektivitas atau kegagalan sistem persenjataan tertentu,” ungkapnya, menggemakan kekhawatiran tentang kabut perang dan asimetri informasi yang sering kali mengaburkan pelaporan awal.

Laksono lebih lanjut menekankan bahwa pesawat tempur tingkat atas sekalipun rentan terhadap kondisi pertempuran tertentu.

“Bahkan jet paling canggih seperti F-16, F/A-18, dan F-22 pun pernah mengalami insiden tertembak jatuh atau jatuh karena kondisi taktis tertentu. Oleh karena itu, performa Rafale tidak bisa diukur hanya dari satu insiden yang bahkan belum sepenuhnya terkonfirmasi.”

Kendati demikian, anggota DPR RI itu mengakui bahwa dugaan penembakan jatuh tiga Rafale oleh jet tempur J-10C Angkatan Udara Pakistan (PAF) yang menggunakan rudal jarak jauh (BVR) PL-15E memberikan dasar yang “sah dan konstruktif” untuk penilaian ulang operasional.

Dugaan penembakan jatuh Rafale oleh J-10C Pakistan ini, jika terbukti benar, akan menandai kerugian tempur pertama yang dikonfirmasi dari jet tempur Rafale sejak pesawat itu diperkenalkan ke angkatan udara global—suatu perkembangan penting mengingat semakin populernya jet itu di India dan Mesir hingga UEA dan Kroasia.

Pada bulan Februari 2024, Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU) Marsekal Madya Mohamad Tonny Harjono mengonfirmasi bahwa pengiriman gelombang pertama enam Rafale dijadwalkan mulai Februari 2026.

Menurut kantor berita negara ANTARA, pengiriman awal mencakup tiga Rafale antara Februari dan Maret, diikuti oleh tiga lagi dalam tiga bulan berikutnya—menunjukkan meningkatnya komitmen Indonesia untuk memperkuat kemampuan kekuatan udara multiperannya.

Pesawat ini akan ditempatkan di dua pangkalan udara yang strategis—Roesmin Nurjadin di Pekanbaru, Riau, dan Pangkalan Udara Supadio di Pontianak, Kalimantan Barat—keduanya berlokasi ideal di perbatasan maritim Indonesia yang luas dan wilayah yang tidak terduga di Laut Cina Selatan.

Perjanjian awal yang ditandatangani pada tahun 2022 mencakup 42 pesawat tempur Rafale—terdiri dari varian kursi tunggal dan ganda—dengan kemampuan spektrum penuh untuk superioritas udara, serangan presisi, pencegahan nuklir, dan pengintaian, yang menyelaraskan doktrin Indonesia tentang respons fleksibel dan pencegahan strategis.

Dugaan hilangnya Rafale memicu berita utama global setelah Menteri Luar Negeri Pakistan Ishaq Dar menyatakan bahwa lima pesawat tempur India—termasuk tiga Rafale, satu MiG-29, dan satu Su-30MKI—dinetralkan oleh armada J-10C Pakistan yang dilengkapi dengan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15E.

“Rafale yang banyak digembar-gemborkan gagal total, dan pilot India jelas tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan,” kata Dar, dalam tantangan langsung terhadap kredibilitas kekuatan udara India.

Secara paralel, koresponden senior CNN Jim Sciutto melaporkan bahwa sumber intelijen Prancis telah mengonfirmasi bahwa setidaknya satu Rafale India ditembak jatuh, dengan investigasi sedang dilakukan untuk memverifikasi apakah ada unit tambahan yang hilang.

Pihak berwenang Prancis dilaporkan tengah menganalisis telemetri rudal, catatan radar, dan data visual sumber terbuka untuk menentukan apakah beberapa Rafale dinetralisir dalam pertempuran itu, yang menandai momen yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah operasional jet tersebut.

Yang semakin memperparah kontroversi, penilaian intelijen Amerika—menurut CNN—menyimpulkan bahwa satu jet India memang ditembak jatuh oleh pasukan Pakistan selama serangan lintas perbatasan Angkatan Udara India, meskipun Washington belum mengonfirmasi sistem yang digunakan secara pasti.

Segera setelah kejadian itu, saham Dassault Aviation anjlok 9,48 persen selama periode lima hari, mencerminkan kecemasan investor atas potensi kerusakan reputasi salah satu ekspor pertahanan utama Eropa.

Ketika ditanya dalam sebuah konferensi pers, Marsekal Udara AK Bharti berkata, "Kita berada dalam skenario perang. Kerugian diperkirakan terjadi dalam pertempuran,"—sebuah pernyataan yang dipandang oleh para analis sebagai pengakuan tersirat atas berkurangnya jumlah personel di medan perang.

Bagi pengamat regional, komentar Bharti yang hati-hati telah memicu spekulasi bahwa India mungkin telah kehilangan sebanyak lima pejuang pada tahap awal kampanye.

Akuisisi Rafale awalnya dipuji sebagai pengubah permainan bagi Angkatan Udara India, dengan kesepakatan tahun 2016 mengamankan 36 pesawat dengan perkiraan nilai US$8,8 miliar.

Dengan memperhitungkan peningkatan yang disesuaikan, paket senjata, pemeliharaan, dan dukungan logistik, biaya per unit Rafale India dilaporkan naik menjadi US$218 juta—mencapai US$289 juta dalam dolar tahun 2025 yang disesuaikan.

India menggandakan komitmen Rafale-nya dengan menandatangani kontrak baru senilai US$7,4 miliar pada bulan April 2025 untuk 26 varian Rafale Marine—22 kursi tunggal dan 4 kursi ganda—yang dijadwalkan untuk operasi kapal induk di atas INS Vikrant.

Kontrak ini menandai ekspor perdana Rafale Marine dan mencakup senjata maritim canggih, suku cadang, dan dukungan spektrum penuh, dengan pengiriman yang ditetapkan akan selesai pada tahun 2030.

Meski demikian, perkembangan terakhir ini masih membayangi reputasi Rafale sebagai jet tempur generasi 4,5 yang dominan, yang pernah dianggap sebagai “kue panas” di pasar senjata global di tengah meningkatnya ketegangan di Eropa Timur, Asia Timur, dan Timur Tengah.

Meski terjadi gejolak, sejumlah pakar pertahanan tetap mendukung keunggulan Rafale.

“Rafale adalah salah satu jet tempur terbaik di dunia saat ini… Ini bukan hanya tentang [membeli] platform yang canggih, tetapi Anda juga memerlukan penguasaan atau pengetahuan untuk mengoperasikan platform tersebut,” kata Adhi Priamarizki, seorang peneliti di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam Singapura.

Bahkan, Wakil Marsekal Udara (AVM) Aurangzeb Ahmed, Direktur Jenderal Hubungan Masyarakat Angkatan Udara Pakistan (PAF) dalam pengarahan hariannya mendukung pesawat tempur buatan Prancis tersebut, dengan mengatakan:  "Rafale bukanlah pesawat yang buruk. Rafale adalah pesawat yang sama kuatnya, sangat kuat... jika digunakan dengan baik."

Pernyataan tersebut secara implisit menggarisbawahi bahwa pesawat tempur yang paling canggih sekalipun tidak akan bernilai di medan perang jika tidak dipasangkan dengan pilot yang sangat terampil dan terlatih serta penerapan doktrin taktis yang efektif.

Saat Indonesia bersiap memasukkan Rafale ke dalam inventaris garis depannya, para perencana pertahanan di Jakarta kini menghadapi kalkulasi yang lebih rumit—menyeimbangkan prestise nasional, peningkatan kemampuan, dan pelajaran yang tak kenal ampun dari peperangan udara modern.

 

SUMBER: DEFENCE SECURITY ASIA

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved