Gejolak Rupiah
Rupiah Melemah, Jadi Sorotan Media Asing: Investor Global Disebut Cemas
Media asing menyoroti kekhawatiran pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia menyusul anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat,
TRIBUNNEWS.COM - Media asing menyoroti kekhawatiran pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia menyusul anjloknya nilai tukar rupiah yang menyentuh rekor terendah sepanjang sejarah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Nilai tukar rupiah Indonesia menyentuh rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat, menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan investor global dan menjadi sorotan media internasional.
Dilansir Al Jazeera, pelemahan rupiah ini mengingatkan banyak pihak pada krisis keuangan Asia 1997-1998, ketika gejolak nilai tukar menyebabkan keruntuhan ekonomi besar-besaran di kawasan.
Sejak Oktober lalu, rupiah telah melemah sekitar 8 persen terhadap dolar AS.
Penurunan ini terjadi di tengah ketidakpastian pasar, termasuk ketegangan global yang dipicu oleh tarif besar-besaran dari Presiden AS Donald Trump, serta kekhawatiran internal soal arah kebijakan ekonomi nasional.
Pada Selasa (8/4/2025), rupiah sempat menyentuh titik terendah sepanjang masa di level 16.850 per dolar AS.
Hal ini dinilai simbolis dan berpotensi mengganggu psikologi publik, karena mengingatkan kembali pada momen krisis 1998 yang berujung pada gejolak politik besar di Indonesia.
“Masih ada ingatan bahwa jika nilai tukar rupiah Indonesia merosot cukup dalam, orang-orang akan mulai gelisah dan berpikir hal itu akan terulang kembali seperti krisis sebelumnya,” ujar Hal Hill, profesor emeritus ekonomi Asia Tenggara dari Universitas Nasional Australia (ANU), dikutip dari Al Jazeera.
Pelemahan rupiah dipicu oleh berbagai faktor.
Selain sentimen global dan ketegangan dagang, muncul pula kekhawatiran soal kebijakan domestik seperti rencana stimulus besar-besaran, pendirian dana kekayaan negara dari dana APBN, hingga ketidakpastian terhadap arah kebijakan fiskal dan moneter.
Menurut Arianto Patunru, ekonom dari ANU Indonesia Project, pelemahan ini mencerminkan “penurunan signifikan dalam kepercayaan pasar.”
Sementara itu, Achmad Sukarsono dari firma konsultan Control Risks menilai bahwa pemerintah saat ini terlalu fokus pada program-program simbolik dan kurang memberi perhatian pada persoalan nyata seperti menyusutnya kelas menengah, PHK massal di sektor manufaktur dan daya beli masyarakat yang melemah.
Baca juga: Isi Janji Manis Netanyahu ke Trump Agar Israel Terbebas Tarif Impor AS
Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi Tiongkok dan dampak perang dagang AS juga memperburuk tekanan terhadap ekonomi Indonesia.
Dalam deklarasi “Hari Pembebasan” yang diumumkan Rabu (2/4/2025) lalu, Presiden Trump menambahkan tekanan baru dengan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap impor dari Indonesia.
Meski secara makro ekonomi Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan lebih dari 5 persen dalam dua tahun terakhir, laporan menunjukkan bahwa kelas menengah menyusut secara signifikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah masyarakat yang termasuk kelas menengah — mereka yang berpengeluaran antara 2 juta hingga 9,9 juta rupiah per bulan — turun dari 57,3 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,8 juta jiwa tahun lalu.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri bahkan menggambarkan kelas menengah Indonesia sebagai “populasi yang tertekan secara ekonomi” dengan daya beli yang melemah dan tabungan yang menipis.
“Indonesia sedang berada dalam periode yang paling menantang dan sulit sejak krisis keuangan Asia 1997-98,” kata Hal Hill.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.