Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
5 Hal yang Perlu Diketahui tentang Tarif Impor Donald Trump: Daftar Negara yang Terdampak
Presiden AS Donald Trump menerapkan pajak atau tarif impor tinggi kepada negara-negara di dunia, ini 5 hal yang perlu diketahui.
TRIBUNNEWS.COM – Sejak kembali menjabat sebagai presiden AS, Donald Trump telah mengeluarkan serangkaian kebijakan tarif dalam upaya menata ulang ekonomi global.
Meksiko, Kanada, dan China menjadi negara-negara pertama yang dikenai tarif impor tinggi untuk berbagai produk.
Tarif juga diberlakukan terhadap baja dan aluminium secara global.
Kemudian, pada Rabu (2/4/2025), Trump meluncurkan kebijakan paling agresif sejauh ini: penerapan tarif timbal balik atau reciprocal tariff.
Trump memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen secara global mulai Sabtu (5/4/2025), sementara tarif yang jauh lebih tinggi untuk puluhan negara lainnya mulai berlaku pada Rabu (9/4/2025).
Lebih dari 60 negara terdampak oleh tarif tinggi, termasuk Indonesia.
Langkah-langkah tersebut membuat pasar keuangan terguncang.
Pemimpin dunia mengecam kebijakan ini, sementara para pejabat memperingatkan potensi inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Mengutip The New York Times dan The Guardian, berikut lima hal yang perlu diketahui tentang kebijakan tarif Trump ini:

1. Apa Itu Tarif dan Siapa yang Menanggungnya?
Tarif (tariff) adalah biaya tambahan yang dikenakan pemerintah atas produk impor dari negara lain.
Tarif dibayarkan oleh perusahaan yang mengimpor barang.
Baca juga: Prabowo dan Jusuf Kalla Nilai Indonesia Tak Perlu Khawatir dengan Tarif Impor AS
Sebagai contoh: jika Walmart mengimpor sepatu seharga $10 dari Vietnam—yang terkena tarif 46 persen—Walmart akan membayar tarif sebesar $4,60 kepada pemerintah AS.
Lalu apa yang bisa terjadi?
Walmart bisa menekan produsen di Vietnam agar menurunkan harga.
Walmart bisa juga memotong margin keuntungannya sendiri dan menanggung beban tarif, menaikkan harga jual sepatu di toko mereka, atau juga kombinasi dari ketiganya.
Para ekonom menemukan bahwa saat Trump menerapkan tarif pada China di masa jabatan pertamanya, sebagian besar biaya tersebut akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Namun, studi lain menunjukkan bahwa pada tarif baja, hanya sekitar separuh dari biayanya yang diteruskan ke konsumen.
2. Mengapa Trump Menerapkan Tarif?
Trump dan para penasihatnya menyatakan bahwa tujuan utama tarif adalah mendorong perusahaan untuk memproduksi barang di dalam negeri, yang diharapkan menciptakan lapangan kerja dan menaikkan upah di AS.
Namun, Trump juga menggambarkan tarif sebagai “alat serba guna” untuk menekan negara lain seperti Kanada, Meksiko, dan China dalam isu-isu seperti perdagangan narkoba dan imigrasi.
Trump juga mengklaim tarif akan mendatangkan pendapatan besar yang bisa digunakan untuk mendanai pemotongan pajak.
Meski begitu, para ekonom menyatakan bahwa tarif tidak bisa secara bersamaan memenuhi semua tujuan tersebut.
Bahkan, beberapa tujuannya saling bertentangan.
Tarif yang seharusnya memperkuat manufaktur AS justru dapat merugikan produsen karena mengganggu rantai pasokan dan menaikkan harga bahan baku.
“Semua tarif ini secara internal tidak konsisten,” kata Chad Bown, peneliti senior di Peterson Institute for International Economics.
“Jadi, apa prioritas sebenarnya? Karena Anda tidak bisa mengejar semuanya sekaligus.”
Baca juga: 70 Negara Rayu AS, Saling Ajukan Tawaran Menarik Agar Trump Pangkas Tarif Impor
3. Negara-Negara yang Terdampak
Mengutip CBS News, berikut negara-negara yang terdampak tarif timbal balik Trump dan besarannya.
Lesotho: 50 persen
St. Peter dan Miquelon: 50 persen
Kamboja: 49 persen
Laos: 48 persen
Madagaskar:47 persen
Vietnam: 46 persen
Srilanka: 44 persen
Myanmar (Burma): 44 persen
Kepulauan Falkland: 42 persen
Suriah: 41 persen
Mauritius: 40 persen
Irak: 39 persen
Republik Demokratik Rakyat Botswana: 38 persen
Guyana: 38 persen
Bangladesh: 37 persen
Serbia: 37 persen
Liechtenstein: 37 persen
Reunion: 37 persen
Thailand: 36 persen
Bosnia dan Herzegovina: 36 persen
China: 34 persen
Makedonia Utara: 33 persen
Taiwan: 32 persen
Indonesia: 32 persen
Angola: 32 persen
Fiji: 32 persen
Swiss: 31 persen
Libya: 31 persen
Moldova: 31 persen
Afrika Selatan: 30 persen
Nauru: 30 persen
Aljazair: 30 persen
Pakistan: 29 persen
Pulau Norfolk: 29 persen
Turki: 28 persen
Kazakstan: 27 persen
India: 27 persen
Korea Selatan: 25 persen
Jepang: 24 persen
Malaysia: 24 persen
Brunei: 24 persen
Vanuatu: 23 persen
Pantai Gading: 21 persen
Namibia: 21 persen
Uni Eropa: 20 persen
Yordania: 20 persen
Nikaragua: 18 persen
Zimbabwe: 18 persen
Malawi: 18 persen
Israel: 17 persen
Filipina: 17 persen
Zambia: 17 persen
Mozambik: 16 persen
Norwegia: 16 persen
Venezuela: 15 persen
Nigeria: 14 persen
Chad: 13 persen
Guinea Khatulistiwa: 13 persen
Kamerun: 12 persen
Republik Demokratik Kongo: 11 persen
Tarif dasar (10 persen):
Inggris Raya
Brasil
Singapura
Chili
Australia
Turki
Kolombia
Peru
Kosta Rika
Republik Dominika
Uni Emirat Arab
Selandia Baru
Argentina
Ekuador
Guatemala
Honduras
Mesir
Arab Saudi
El Salvador
Trinidad dan Tobago
Maroko
Oman
Uruguay
Bahama
Ukraina
Bahrain
Qatar
Islandia
Kenya
Haiti
Bolivia
Panama
Ethiopia
Ghana
Jamaika
Paraguay
Lebanon
Tanzania
Georgia
Senegal
Azerbaijan
Uganda
Albania
Armenia
Nepal
St. Maarten
Gabon
Kuwait
Togo
Suriname
Belize
Papua Nugini
Liberia
Kepulauan Virgin Inggris
Afganistan
Benin
Barbados
Monako
Uzbekistan
Republik Kongo
Jibuti
Polinesia Prancis
Kepulauan Cayman
Kosovo
Curacao
Rwanda
Sierra Leone
Mongolia
San Marino
Antigua dan Barbuda
Bermuda
Eswatini
Kepulauan Marshall
St. Peter dan Miquelon
Saint Kitts dan Nevis
Turkmenistan
Grenada
Sudan
Kepulauan Turks dan Caicos
Aruba
Montenegro
Saint Helena
Kirgizstan
Yaman
Saint Vincent dan Grenadines
Niger
Saint Lucia
Iran
Samoa
Guinea
Timor Leste
Montserrat
Mali
Maladewa
Tajikistan
Cabo Verde
Burundi
Guadeloupe
Bhutan
Martinik
Tonga
Mauritania
Dominika
Mikronesia
Gambia
Guyana Prancis
Pulau Natal
Andorra
Republik Afrika Tengah
Kepulauan Solomon
Mayotte
Anguila
Kepulauan Cocos (Keeling)
Eritrea
Kepulauan Cook
Sudan Selatan
Komoro
Kiribati
Sao Tome dan Principe
Pulau Norfolk
Gibraltar
Tuvalu 10 10
Wilayah Samudra Hindia Britania
Tokelau
Guinea-Bissau
Svalbard dan Jan Mayen
Kepulauan Heard dan McDonald
4. Bagaimana Reaksi Negara-Negara?
Banyak negara yang terkena dampak tarif tinggi mencoba bernegosiasi dengan pemerintahan Trump, sementara sebagian lainnya melakukan perlawanan.
China misalnya, menetapkan tarif 34 persen untuk semua produk AS dan melarang 11 perusahaan Amerika berbisnis di negaranya.
Mereka juga menghentikan impor ayam dari lima eksportir pertanian AS.
Uni Eropa mengancam akan membalas dengan tarif terhadap berbagai produk AS seperti wiski, sepeda motor, dan pakaian wanita.
Kanada berjanji akan melindungi ekonomi dan pekerjanya, sementara Perdana Menteri Mark Carney menyatakan bahwa AS bukan lagi mitra dagang yang dapat diandalkan.
Meksiko mengambil langkah ekstrem, termasuk mengekstradisi lebih dari 20 pemimpin kartel narkoba ke AS dan mengerahkan pasukan ke laboratorium fentanil.
Korea Selatan membentuk gugus tugas darurat, sedangkan Vietnam menawarkan menurunkan tarif ekspor AS menjadi nol sebagai imbalan kebijakan serupa dari Washington.
Australia menyatakan tidak akan membalas dengan tarif serupa.
5. Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Ketua Federal Reserve, Jerome H. Powell, memperingatkan bahwa tarif Trump bisa memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah analis menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, menyebut tarif sebagai faktor yang bisa menaikkan harga bagi konsumen dan biaya operasional bagi bisnis.
Beberapa bank memperkirakan kemungkinan Amerika Serikat mengalami resesi tahun ini meningkat drastis.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.