Analisis, Apa Dampak Kebijakan Ekonomi AS Terhadap Perekonomian Global dan Indonesia?
Kebijakan kenaikan tarif impor yang diambil Presiden Amerika Serikat, Donald Trump berimbas pada situasi ekonomi global, termasuk Indoensia.
Analisis, Apa Dampak Kebijakan Ekonomi AS Terhadap Perekonomian Global dan Indonesia?
TRIBUNNEWS.COM - Kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan Amerika Serikat (AS), menghasilkan dinamika baru dalam berbagai aspek secara global.
Satu di antara hal yang menjadi sorotan utama adalah kebijakan tarif impor yang diumumkan Trump.
Baca juga: Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat
Secara nyata, kebijakan Trump yang mengusung jargon America First Policy memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi global, terutama terhadap negara-negara yang terkait.
Economist KISI Asset Management, Arfian Prasetya Aji, memberikan sejumlah highlight dari perkembangan terbaru saat kembalinya Donald Trump ke posisi Presiden AS.
Kebijakan Tarif Impor AS
Pada awal bulan ini, Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan instruksi terkait tarif impor 25 persen untuk Kanada dan Meksiko, serta tambahan 10 persen untuk barang-barang dari China (dari rata-rata tarif tertimbang yang berlaku sebelumnya sebesar 0,3 persen).
Kebijakan ini berlaku mulai 4 Februari 2025.
Trump menjelaskan kalau tarif ini akan tetap berlaku hingga keadaan darurat nasional terkait masalah obat fentanil dan imigrasi ilegal ke AS berakhir.
Merespon hal tersebut, Kaada dan Meksiko memberikan tanggapan bahwa mereka akan berjanji untuk memperkuat penegakan hukum di perbatasan.
Setelah itu, Trump memberikan pernyataan baru bahwa tarif untuk Meksiko dan Kanada akan ditunda setidaknya selama 30 hari ke depan.
Arfian memaparkan, kebijakan Trump ini memicu ketidakpastian pasar, terlihat dari penguatan signifikan pada Indeks Dolar AS yang sempat mencapai level 109,86.
"Akibatnya, rupiah sempat terdepresiasi ke level 16,483, meskipun kini kembali menguat ke level 16,371 seiring dengan melandainya Indeks Dolar AS setelah adanya pernyataan bahwa pemberlakuan tarif tersebut ditunda," kata Arfian dikutip, Senin (17/2/2025).
Inflasi AS dan Indonesia
Inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) AS pada Desember 2024 tercatat sebesar 2,6% Year on Year (YoY), sesuai perkiraan.
Sementara Inflasi inti (Core PCE), yang tidak termasuk komponen makanan dan energi yang volatile, tercatat 2,8% YoY, menunjukkan bahwa tekanan inflasi di AS masih cukup tinggi.
Di sisi lain, inflasi domestik Indonesia pada Januari 2025 tercatat pada level terendah dalam 25 tahun terakhir, yakni 0,76% YoY.
Lalu apakah inflasi yang sesungguhnya memang benar serendah ini?
"Apabilka kita coba cermati lebih lanjut, inflasi inti, yang merepresentasikan kondisi inflasi yang sesungguhnya masih tumbuh, tercatat +2,36% YoY. Adapun penyebab inflasi secara umum sangat rendah adalah terletak pada komponen harga yang diatur pemerintah yang mengalami deflasi, yaitu sebesar -6,41% YoY. Program diskon tarif listrik memberikan kontribusi besar pada deflasi ini," kata Arfian
PMI Manufaktur Indonesia
Arfian juga memberi catatan terhadap Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia.
Pada Januari 2025 PMI Manufaktur Indonesia dilaporkan meningkat menjadi 51,9, naik dari 51,2 pada bulan sebelumnya.
Ini menandakan adanya pertumbuhan aktivitas pabrik yang berlanjut untuk bulan kedua berturut-turut, serta merupakan laju tercepat sejak Mei 2024.
Pesanan baru terus tumbuh, didorong oleh permintaan asing yang meningkat. Biaya output juga tercatat moderat, berada pada level terendah dalam tiga bulan terakhir.
"Peningkatan PMI ini dapat menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam hal peningkatan produksi dan pembelian bahan baku. Dengan adanya peningkatan aktivitas produksi, diharapkan akan ada peningkatan perekrutan tenaga kerja yang dapat memperbaiki tingkat lapangan pekerjaan di Indonesia," paparnya.
Dampak Kebijakan Ekonomi AS Terhadap Perekonomian Global dan Indonesia
Terkait kebijakan impor yang diterapkan oleh AS terhadap Kanada, Meksiko, dan China, dia memperkirakan hal itu dapat memperburuk ketidakpastian ekonomi global serta dapat memengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed.
Menurutnya, dengan adanya tarif impor dapat meningkatkan harga barang yang masuk ke AS karena perusahaan harus membayar tarif tambahan untuk barang yang diimpor.
"Alhasil, biaya ini pada umumnya akan dibebankan ke konsumen dengan bentuk harga yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong inflasi," katanya.
Meningkatnya inflasi di AS akan memperkecil ruang penurunan suku bunga The Fed.
Imbasnya adalah ekspektasi terhadap US Treasury Yield akan tetap tinggi.
"Lalu dampaknya ke Indonesia adalah ruang pemangkasan suku bunga Bank Indonesia pun akan turut lebih terbatas, di lain sisi diperlukan pemangkasan lebih lanjut guna mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya.
Soal inflasi yang terjadi, inflasi yang tinggi di AS berpotensi membuat The Fed tetap hawkish dalam kebijakan moneternya.
Hawkish adalah istilah yang menggambarkan kebijakan moneter bank sentral yang ketat atau agresif. Istilah ini digunakan untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan perekonomian.
Sebaliknya, tambahnya, inflasi Indonesia yang rendah memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk mengurangi suku bunga dan mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
"Namun, yang perlu menjadi perhatian Bank Indonesia adalah keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar. Nilai tukar akan cenderung tertekan ketika The Fed masih mempertahankan suku bunganya," kata dia.
Adapun soal kondisi PMI Manufaktur Indonesia, Arfian Prasetya Aji menjelaskan kalau kenaikan indeks menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur mulai bangkit, yang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Dengan biaya output yang relatif rendah serta pesanan yang meningkat, Indonesia berpotensi mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik pada kuartal ini," katanya.
Berdasarkan uraian – uraian tersebut, Arfian memberikan kesimpulan kalau dinamika kebijakan ekonomi yang terjadi di AS memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar global, termasuk Indonesia.
"Namun, dengan inflasi domestik yang rendah dan peningkatan sektor manufaktur, Indonesia memiliki kesempatan untuk terus memperkuat ekonomi meski di tengah ketidakpastian global. Pihak terkait di Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, diharapkan dapat memanfaatkan ruang moneter dan fiskal yang ada untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi di tahun 2025," katanya.
(*/)
Terhanyut di Madura: Cerita Warga Australia Temukan Cinta di Tengah Selawat Santri |
![]() |
---|
Pendaftaran BPI Beasiswa Pendidikan Indonesia untuk Guru serta Calon Guru D-4 atau S-1 |
![]() |
---|
Indonesia–Polandia Teken Perjanjian MLA: Langkah Strategis Berantas Kejahatan Lintas Negara |
![]() |
---|
Mahasiswa dari 27 Kampus Adu Inovasi Logistik, ITB Raih Juara Pertama |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 47, Ciri dan Syarat Vlog Berita |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.