Selasa, 7 Oktober 2025

AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris, Pakar Energi: Hambat Transisi Energi di Indonesia

Mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim. 

Penulis: willy Widianto
Editor: Choirul Arifin
Tangkapan Layar YouTube White House
AS KELUAR DARI PERJANJIAN PARIS - Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat menyampaikan pidato di depan anggota kongres dari Partai Republik pada Senin (27/1/2025) di Gedung Putih. Mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim.  

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengambil keputusan kontroversial dengan memutuskan negaranya keluar dari Perjanjian Iklim Paris yang merupakan perjanjian untuk menanggulangi krisis iklim di dunia.

Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia Novita Indri mengatakan, mundurnya AS dari Perjanjian Iklim Paris berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim. 

Selain itu, berpotensi menghambat upaya pendanaan internasional karena potensi berkurangnya komitmen AS dalam membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang salah satunya tertuang dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP)

Meski demikian, hilangnya kepemimpinan AS dinilai membuka peluang untuk kepemimpinan alternatif yang bersifat lebih kolaboratif. 

Perlu dipertimbangkan kembali skema-skema kerja sama yang adil dengan negara-negara lain, termasuk negara berkembang untuk dapat mencapai target Perjanjian Paris. 

“Perjanjian Paris seharusnya dipandang bukan hanya sebagai janji di atas kertas berisikan bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi, tapi Perjanjian tersebut adalah sebuah komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan."

"Krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah didepan mata,” kata Novita dalam keterangannya, Rabu(5/2/2025).

Analisis World Resources Institute (WRI) pada tahun 2023 menunjukkan tiga negara penghasil emisi terbanyak diduduki oleh China, Amerika Serikat, dan India yang berkontribusi sekitar 42,6 persen dari total emisi global. 

Menurut Novita, perubahan akibat mundurnya AS tidak berarti Indonesia harus mengendorkan upaya transisi energi di tengah ancaman krisis iklim. 

Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, Apa Dampaknya bagi Negara-negara Berkembang di Dunia?

“Sedari awal, pendanaan JETP memang buram terkait realisasinya. Ia cuma pengemasan ulang dari komitmen lama dan didominasi oleh skema utang yang berpotensi membebani Indonesia,” ujar Novita.

Di sisi lain, Ia menyayangkan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dalam sebuah forum ekonomi di Jakarta pada akhir Januari lalu yang menyebutkan Indonesia tidak perlu terburu-buru melakukan transisi energi dam “terjebak” dalam Perjanjian Paris di tengah mundurnya AS dan belum turunnya dana bantuan transisi energi dari JETP.

“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversial langkah Trump di mata dunia internasional. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi karena kita rentan pada krisis iklim,” ujar Novita.

Baca juga: Lewat Council of Gen Z, Anak Muda Bahas Kebijakan Krisis Iklim Era Prabowo-Gibran

Dari pantauan portal data bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari 1 Januari-31 Januari 2025, jumlah bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir (165 kejadian), disusul cuaca ekstrim (13 kejadian), dan tanah longsor (18 kejadian) yang menyebabkan 635.336 jiwa menderita dan harus mengungsi. 

Menurut Novita, semua bentuk bencana ini memiliki korelasi erat dengan dampak krisis iklim.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved